SuaraSumsel.id - Festival Pengetahuan Gambut digelar Kemitraan the Partnership for Governance Reform secara virtual selama dua hari.
Festival ini guna merayakan terwujudnya Desa Peduli Gambut yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia; Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Selama kurun waktu tiga tahun lebih, Kemitraan berkontribusi dalam Program Desa Peduli Gambut (DPG) guna mendukung target restorasi gambut Pemerintah Indonesia di bawah pengelolaan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Program ini dilakukan di 159 lokasi desa yang secara langsung menerima intervensi program dengan fasilitasi Kemitraan, dan 150 desa lainnya yang diintervensi pada komponen pemetaan partisipatif dan integrasi kegiatan restorasi gambut dalam perencanaan pembangunan desa.
Baca Juga:Di Situasi Pandemi Ini, Kadin Harus Berkontribusi Bagi Pemulihan Ekonomi
Kegiatan ini sekaligus menjadi momentum diseminasi pembelajaran restorasi gambut di tingkat desa. Diseminasi Pembelajaran Desa Peduli Gambut di tujuh provinsi ini menggandeng puluhan pembicara untuk berbagi pengalaman dan mencoba menggali peran banyak pihak yang perlu disinergikan demi masa depan restorasi gambut.
Festival Pengetahuan Gambut hari pertama dibuka dengan sesi Menggagas Masa Depan Restorasi Gambut Indonesia oleh Hasbi Berliani selaku Direktur Program Sustainable Governance Community, Kemitraan.
Hasbi menyampaikan bahwa Program Desa Peduli Gambut (DPG) lebih dari sekadar program, tapi menjadi gerakan di tengah masyarakat.
Sepanjang program banyak pembelajaran yang didapatkan, terkait restorasi gambut, revegetasi, memperkuat pengetahuan dan kesadaran, serta bagaimana mengintegrasi pelestarian gambut ke dalam perencanaan.
“Awalnya, infrastruktur pembasahan gambut itu tersedia lewat tender. Tapi melalui DPG kami membuktikan, masyarakat mampu memberdayakan diri mereka untuk swa kelola untuk membangun dan memelihara infrastruktur secara mandiri,” jelas Hasbi ungkapkan kemandirian desa kepada Suarasumsel, id (7/12/2020).
Baca Juga:Inilah Sosok Bocah SD di Sumsel, Pembuat Puisi "Sepedah, Ikan dan Batubara"
Terlebih lagi, lahan gambut, yang sering kali dikelola dengan cara membakar, kini telah menjadi sumber penghidupan masyarakat dengan praktik Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).
Revitalisasi Ekonomi juga telah diterapkan di desa-desa gambut melalui pengembangan teknik pertanian seperti praktik paludikultur dan pertanian adaptif baik melalui kompensasi langsung maupun pembagian keuntungan.
“Seluruh praktik yang telah diterapkan masyarakat diharapkan dapat mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sekaligus terus mengembangkan perekonomian masyarakat desa,” tutup Hasbi.
Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan, Badan Restorasi Gambut (BRG RI), Myrna A. Safitri menggarisbawahi semangat anak muda dan perempuan dalam mengembangkan usaha di berbagai industri, termasuk produk dari lahan gambut.
“Cukup mengagetkan, walaupun di masa pandemi seperti ini, geliat anak muda dan kelompok perempuan malah semakin muncul. Ditambah lagi, mereka mengembangkan produk-produk yang dinikmati pasar. Ini salah satu bentuk optimisme untuk Indonesia yang lebih maju dengan lebih lagi memberdayakan anak muda dan kelompok perempuan, termasuk dalam hal pelestarian desa gambut,” ungkap Myrna.
Kilas Balik 5 Tahun Peta Jalan Restorasi Gambut
Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem penting dan esensial dalam pemenuhan komitmen dan target pemerintah dalam pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari upaya pengendalian
perubahan iklim, serta memastikan kualitas lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan.
Pemerintah telah menunjukkan kepemimpinan di level global serta komitmen kuat pada level domestik dalam upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut.
Menakar komitmen dan kolaborasi para pihak terhadap pemulihan ekosistem gambut, Sri Parwati Budiastuti, MSc, selaku Direktur Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PPKL, KLHK) menyatakan pemerintah desa telah menunjukan semangat kolaborasi dan komitmen konkret dalam melestarikan ekosistem gambut.
Hal ini terwujud dari dukungan pemerintah terhadap masyarakat desa dalam melakukan diversifikasi produk, identifikasi pasar, sehingga meningkatkan nilai jual dari produk pertanian lahan gambut.
“Upaya pembasahan lahan gambut disempurnakan dengan monitoring oleh masyarakat sendiri, agar masyarakat dapat mengenal daerahnya sendiri dan memanfaatkan infrastruktur pembasahan lahan gambut semaksimal mungkin,” jelas Sri.
Ditekankan Dermawati Sihite, Kasubpokja Supervisi Pengelolaan Lahan Konsesi Kedeputian III, BRG RI, bahwa restorasi gambut tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, pengelolaannya harus diupayakan melalui kolaborasi antar pihak, terutama masyarakat.
Hal ini dilengkapi oleh Prof. Herry Purnomo dari CIFOR melalui pemaparan tinjauan ekonomi politik karhutla terhadap pemulihan ekosistem gambut yang menitikberatkan pada pentingnya kolaborasi aktor dan pembangunan dari tingkat tapak.
“Keseimbangan power itu sangat penting dan tetap harus ada yang mengawal. Pemerintah tidak bisa sendirian. Kami dari akademisi sadar, bahwa masyarakat dan organisasi lain sebagai perwakilan masyarakat perlu diberi tempat untuk mengapresiasi dan terus mendorong upaya dari masyarakat lokal,” jelas Prof Herry.
Lahan gambut Indonesia menjadi salah satu kawasan utama penyimpan karbon, mengatur tata air dan memiliki keanekaragaman tinggi di mana banyak masyarakat menggantungkan hidup dari kelestarian gambut.
Maka penentuan skala prioritas dengan fokus konsesi berskala luas dan pada sarana dan prasarana utama yang berdampak langsung pada pemulihan ekosistem gambut, bersifat krusial.
Menurut Wahyu Perdana yang adalah Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI, tidak terpenuhinya sarana prasarana untuk mengantisipasi kebakaran secara khusus harus ditindak secara hukum.
“Penegakan hukum restorasi gambut tidak terbatas pada penanganan dan antisipasi kebakaran, tapi juga proses restorasi secara keseluruhan, salah satu yang telah dihasilkan adalah inpres moratorium sawit sebagai bentuk penegakan hukum,” jelas Wahyu.
Supintri Johar dari AURIGA Nusantara menambahkan, kerusakan dan kebakaran gambut menjadi permasalahan rumit yang mengakibatkan Indonesia menjadi sorotan dunia internasional, terutama terkait asap kebakaran dan longgarnya upaya perlindungan.
“Pemantauan dan penegakan perlindungan gambut akan lebih efektif jika dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pihak lain yang berada di sekitar kawasan. Data hasil pemantauan harus didistribusikan, baik dalam bentuk laporan ke penegak hukum atau publikasi agar mendapat dukungan publik,” Supin tekankan aksi kolaboratif dalam pemantauan pemulihan ekosistem gambut.
Pada akhirnya, kolaborasi setiap pihak perlu dikedepankan dalam upaya restorasi gambut.
Kolaborasi harus didukung penegakan hukum yang jelas, pengembangan kapasitas masyarakat, melibatkan setiap pihak dalam membangun perencanaan, dan pemantauan secara regular. Ekosistem gambut pada akhirnya tidak hanya dijaga kelestariannya tetapi juga dikelola dengan baik agar membawa manfaat bagi masyarakat di kawasan gambut.