Menurut ia, banyak keinginan para ibu agar bisa mengelola kopi lebih berharga tinggi.
“Kemudian sejak 2018 lalu, keinginan agar lebih produktif makin diasah hingga hadirnya sejumlah program baik dari lembaga riset, atau perusahaan. Belum lama ini, juga dikenalkan program Corporate Social Value (CSV),” ujarnya.
Surainah menceritakan secara turun temurun, perempuan desa juga bercocok tanaman sayuran dan buah. “Padahal, jika dikelola (kopi, buah dan sayur) maka akan lebih beragam yang dijual,” pintanya.
Dia menceritakan bagaimana harga kopi dalam bentuk biji kopi sangat tergantung pada permintaan pasar. Di saat harga-harga kopi yang rendah, warga desa hanya bisa menerimanya.
Baca Juga:Tangan-Tangan Inspiratif Perempuan Tebat Benawa: Menjaga Hutan, Membangun Desa
Perempuan yang dominan berperan sebagai pengelola keuangan keluarga pun dipaksa memutar kemampuan memenuhi kebutuhan seharian. Perempuan berperan besar di desa yang merupakan Suku Basemah.
“Saat harga kopi turun, perempuan dituntut memenuhinya. Di desa ini, perempuan juga ke kebun, pekerjaan dominan dilakukan bersama-sama. Seperti saat ke kebun, kami (perempuan) menanam, membersihkan rumput, panen, dan jika bisa angkut maka diangkut,” akunya.
Selain menanam kopi, warga terutama perempuan juga berkebun sayur, beternak ayam, ikan, sapi dan kambing. Meski jumlah ternaknya tidak banyak, mereka memanfaatkan ruang di halaman rumah yang dominan merupakan rumah panggung.
“Sistem niaga kopi benar-benar tradisional, langsung dijual ke luar desa,” ungkap Surainah.
Kekinian harga kopi nan makin tinggi. Ia pun mengungkap berkah tersendiri dan berharap akan semakin banyak produk olahan kopi yang dihasilkan.
Baca Juga:Kopi Pagaralam: Emas Hitam dari Bumi Besemah yang Menggoyang Dunia
Sejumlah pelatihan pun digelar dalam serangkaian program pendampingan. Diceritakan istri ketua adat Tebat Benawa ini jika sejumlah pelatihan tersebut juga sudah menghasilkan sejumlah produk olahan selain kopi.