Mengapa Warga Sumsel Mudah Tertipu? Kerugian Penipuan Online Tembus Rp100 Miliar di 2025

Sepanjang 2025, kerugian penipuan keuangan online di Sumsel mencapai lebih dari Rp100 miliar dari 8.315 laporan.

Tasmalinda
Rabu, 31 Desember 2025 | 14:03 WIB
Mengapa Warga Sumsel Mudah Tertipu? Kerugian Penipuan Online Tembus Rp100 Miliar di 2025
ilustrasi penipuan online yang dialami warga Sumatera Selatan. [Antara]
Baca 10 detik
  • Sepanjang 2025, kerugian penipuan keuangan online di Sumsel mencapai lebih dari Rp100 miliar dari 8.315 laporan.
  • Palembang mencatat laporan tertinggi, dipicu tingginya intensitas transaksi digital serta modus penipu yang profesional.
  • OJK berupaya memperkuat Satgas PASTI untuk penindakan dan edukasi, menekankan pentingnya sikap kritis masyarakat.

SuaraSumsel.id - Lonjakan penipuan keuangan online di Sumatera Selatan sepanjang 2025 memunculkan pertanyaan yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan: mengapa begitu banyak warga masih mudah terjebak, meski informasi dan peringatan kian masif? Di balik kemudahan transaksi digital, risiko kejahatan justru tumbuh cepat.

Data resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kerugian masyarakat akibat penipuan keuangan online di Sumsel telah tembus lebih dari Rp100 miliar.

Angka ini dihimpun dari laporan yang masuk ke Indonesia Anti-Scam Center (IASC) selama periode November 2024 hingga November 2025. Dalam rentang tersebut, tercatat 8.315 laporan dugaan kejahatan keuangan digital dari Sumsel, menempatkan provinsi ini di peringkat delapan nasional untuk jumlah pengaduan.

Kepala OJK Provinsi Sumatera Selatan, Arifin Susanto, menilai tren ini tidak bisa dipandang sebagai insiden sporadis. Peningkatan laporan mencerminkan dua sisi sekaligus: kejahatan digital yang semakin agresif dan kesadaran melapor yang mulai tumbuh.

Baca Juga:PI 10 Persen Jambi Merang Resmi Masuk, APBD Sumsel Kembali Bertumpu pada Migas?

Namun, substansi kasusnya relatif seragam—investasi ilegal dan pinjaman online tanpa izin masih menjadi pemicu utama kerugian.

Palembang mencatat angka paling tinggi dengan 3.774 laporan, disusul Kabupaten Ogan Komering Ilir (562) dan Kabupaten Banyuasin (534). Tingginya laporan di wilayah perkotaan dinilai berkorelasi dengan intensitas transaksi digital yang lebih padat, mulai dari pembayaran daring, belanja online, hingga penggunaan beragam aplikasi keuangan.

Paparan iklan digital dan promosi di media sosial membuat warga kota lebih sering bersentuhan dengan tawaran keuangan, baik yang legal maupun yang menyaru.

Yang membuat persoalan ini kian rumit adalah modus yang semakin meyakinkan. Pelaku tidak lagi sekadar menebar janji keuntungan tinggi, tetapi juga menyamar sebagai lembaga resmi dengan tampilan profesional—logo, situs, hingga akun media sosial tiruan. Tekanan psikologis kerap dimainkan melalui batas waktu palsu atau iming-iming “kuota terbatas”, mendorong korban mengambil keputusan tergesa sebelum sempat memeriksa legalitas.

“Pelaku cepat beradaptasi dengan teknologi. Karena itu masyarakat harus semakin kritis dan tidak mudah tergiur,” ujar Arifin dalam koordinasi Satgas PASTI di Palembang belum lama ini.

Baca Juga:Pemohon Paspor di Sumsel Menurun di 2025, Tekanan Ekonomi Jadi Sebab?

Menurutnya, kecepatan adaptasi inilah yang membuat penipuan tampak wajar dan sulit dibedakan dari promosi sah, terutama bagi pengguna yang jarang melakukan pengecekan ulang.

Merespons lonjakan kasus, OJK bersama aparat penegak hukum dan pemerintah daerah memperkuat koordinasi Satgas PASTI. Upaya ini diarahkan pada pencegahan sejak dini, percepatan penindakan, serta edukasi konsumen agar potensi kerugian dapat ditekan. Namun OJK menegaskan, penegakan hukum saja tidak cukup tanpa perubahan perilaku masyarakat dalam bertransaksi digital.

OJK mengimbau warga untuk selalu memeriksa legalitas produk dan penyelenggara jasa keuangan, bersikap skeptis terhadap tawaran keuntungan yang tidak wajar, serta segera melapor bila menemukan indikasi penipuan. Sikap kritis menjadi benteng utama di tengah derasnya arus digitalisasi.

Lonjakan penipuan sepanjang 2025 menjadi cermin bahwa pertumbuhan ekonomi digital yang tidak diimbangi literasi dan perlindungan konsumen justru membuka celah kejahatan. Tanpa kewaspadaan, kemudahan teknologi bisa berubah menjadi pintu masuk kerugian besar dan angka Rp100 miliar itu berpotensi terus bertambah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak