Tangan-Tangan Inspiratif Perempuan Tebat Benawa: Menjaga Hutan, Membangun Desa

Lebih dari sekadar kawasan hutan, Tebat Benawa menjadi sumber penghidupan dengan daya tarik wisata sekaligus geliat ekonomi.

Tasmalinda
Sabtu, 24 Agustus 2024 | 20:49 WIB
Tangan-Tangan Inspiratif Perempuan Tebat Benawa: Menjaga Hutan, Membangun Desa
Peresmian Rumah Kopi Ringkeh Pagar Alam

SuaraSumsel.id - Hutan adat Tebat Benawa nan berada kota Pagar Alam Sumatera Selatan (Sumsel) membawa berkah tersendiri bagi masyarakatnya. Lebih dari sekadar kawasan hutan, Tebat Benawa menjadi sumber penghidupan dengan daya tarik wisata sekaligus geliat ekonomi.

Melalui pengelolaan hutan adat, masyarakat hidup berdampingan secara harmonis melalui pengelolaan hutan adat lestari dengan berhasil menciptakan model pembangunan berkelanjutan nan menarik.

Dengan menjaga kelestarian hutan, mereka tidak hanya melindungi sumber mata air dan keanekaragaman hayati, tetapi meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui produksi kopi berkualitas dan pengembangan ekowisata. 

Kisah sukses Tebat Benawa membuktikan bahwa konservasi lingkungan tidak hanya penting untuk masa depan, tetapi juga dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dan sosial.

Baca Juga:Video Art Sastra Tutur Teater Potlot: Perpaduan Seni dan Lingkungan nan Menginspirasi

Salah satu yang baru diresmikan ialah Rumah Produksi Kopi Ringkeh. Program ini merupakan kolaborasi melibatkan perusahaan pupuk PT Pusri Palembang, Gerai Hutan, kelompok masyarakat perempuan desa sekaligus lembaga Inagri dan Tanisani.

PT Pusri Palembang nan merupakan anggota holding PT Pusri Indonesia (Persero) memiliki program pemberdayaan masyarakat berupaya mengedepankan value (nilai) pada lingkungan, sosial, serta ekonomi masyarakat. Program ini bernama program Kopi Tebat Benawa.

Bersama dengan masyarakat, perwakilan Gerai Hutan, Aidil Fikri mengatakan program Corporate Social Value (CSV) merupakan pemberdayaan dilakukan dengan mengedepankan nilai (value) atas saling hubungan antara masyarakat dan perusahaan.

“Program ini membuat masyarakat lebih berdaya dengan apa yang telah dihasilkan selama ini. Pemberdayaan CSV mengupayakan komoditas kopi sebagai salah satu komoditas yang dihasilkan memiliki nilai lebih. Tidak hanya kopi, namun juga komoditas lainnya seperti sayuran dan buah,” ucapnya saat peresmian Rumah Produksi Kopi Tebat Benawa belum lama ini.

Desa (Dusun) Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam berada di sekitar hutan adat. Di dusun ini, masyarakat mengupayakan tanaman kopi sebagai salah satu sumber penghidupan ekonomi selain sayuran dan lainnya.

Baca Juga:Mantan Pejabat Pemprov Richard Cahyadi Ditetapkan Tersangka Korupsi

Masyarakat di desa ini pun menjaga hutan Tebat Benawa sebagai hutan adat nan menyediakan sumber air bagi tanaman dan kebutuhan bagi masyarakat. “Dengan masyarakat berdaya akan mampu menciptakan nilai lebih (ekonomi) atas komoditas yang dihasilkan maka hutan adat akan terus terjaga kelestariannya,” ujarnya menjelaskan.

Karena itu, Aidil menekankan perlunya mengkolaborasikan nilai dari perusahaan dan masyarakat agar saling memberikan manfaat lebih kepada kedua pihak dalam menjalankan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Saat ini, Kopi Tebat Benawa mulai dijual di Pulau Jawa, seperti Jakarta hingga Cirebon.

Rumah Kopi Ringkeh yang diresmikan
Rumah Kopi Ringkeh yang diresmikan

Berdayakan Perempuan Desa

Program CSV ini melibatkan 30 orang yang merupakan kelompok wanita yang tergabung dalam kelompok usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Hutan Adat Mude Ayek, Tebat Benawa. 

Ketua kelompok Surainah menceritakan perempuan Desa Tebat Benawa memiliki waktu yang cukup luang saat bertani kopi. Setidaknya waktu sibuk mereka hanya di kisaran bulan Juni hingga Agustus atau dikenal musim panen kopi. 

“Selebihnya kami hanya berkumpul silaturahmi, mengelola kopi secara tradisional sebelum dijual ke pengepul. Keinginan kami terwujud sejak makin banyak yang membantu dalam mengelola produk lanjutan kopi. Seperti halnya PT Pusri yang membantu mesin, Tanisani yang mengajarkan membuat olahan sabun dari ampas kopi, minyak badan (body oil) dari biji kopi,” ucapnya.

Kekinian dengan merek dagang Kopi Ringkeh, Surainah dan puluhan ibu-ibu kopi berkeinginan mengolah biji kopi agar makin bernilai tambah. 

“Kami inginnya kopi lebih dikenal, makin banyak yang datang ke desa, selain membeli kopi juga ada olahan kopi lainnya. Sejak tahun 2018, sampai saat ini telah mengubah persepsi kami, perempuan untuk lebih memberikan nilai tambah pada komoditas yang kami hasilnya ini, tidak hanya sekadar biji kopi,”ujarnya dengan mata berbinar.

Dengan waktu luang dari kegiatan berkebun kopi, Ibu dua anak ini menceritakan ibu-ibu kini makin aktif berkumpul di rumah produksi kopi dengan mencari ide kreatif lainnya agar makin banyak menciptakan nilai jual.

 “Kami ingin produk kopi kami dikenal dengan nama daerah kami. Tidak hanya kopi, di rumah produksi kami pun menjual keripik ubi, teh dari biji kopi, kerajinan dari rotan, manisan tomat, juga proses pengolahan kemasan kopi yang makin modern serta digital seperti dipasarkan di media sosial,” harapnya.

Dalam serangkaian peresmian Rumah Produksi Kopi Ringkeh juga digelar pelatihan membuat sabun kopi, minyak badan kopi dan digital marketing kemasan kopi. Terlihat antusias para peserta mengikuti kegiatan yang tidak hanya digelar untuk para ibu, namun juga remaja desa.

Pendiri Tanisani Projekt, Reka Agni Maharani mengharapkan pelatihan yang diberikan makin membuat para perempuan desa berdaya dan kreatif menciptakan nilai tambah pada sejumlah komoditas yang telah dihasilkan.

“Sehingga rumah produksi kopi ini akan menjadi rumah kreatif, menghasilkan ide-ide lebih beragam komoditas. Sabun kopi ialah upaya mengubah ampas kopi yang tentu banyak dihasilkan di desa agar berguna bagi kesehatan kulit, begitu juga body oil kopi yang memaksimalkan biji kopi bagi kesehatan kulit tubuh,” ucapnya.

Perwakilan HaKi, Aidil Fikri (paling kanan), SPM Creating Shared Value PT Pusri Palembang Rahmawati (dua dari kanan) memjelaskan mengenai program Rumah Kopi Ringkeh
Perwakilan HaKi, Aidil Fikri (paling kanan), SPM Creating Shared Value PT Pusri Palembang Rahmawati (dua dari kanan) memjelaskan mengenai program Rumah Kopi Ringkeh

Program CSV PT Pusri 

Program pemberdayaan masyarakat nan berbasis Creating Shared Value (CSV) atau program yang memiliki nilai bersama untuk perusahaan dan masyarakat penerima manfaat. 

Program ini membentuk kelompok masyarakat yang bernama kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) Hutan Adat Ayek Tebat Benawa.

SPM Creating Shared Value PT Pusri Palembang Rahmawati menjelaskan jika program ini telah dimulai sejak 2023 lalu. Berbagai program dilaksanakan adalah membantu peralatan pengolahan kopi, peningkatan kapasitas kelompok binaan dengan memberikan pelatihan pengolahan produk turunan.

“Selain membangun Rumah Produksi Kopi yang akan menjadi sentra lokasi KUPS berkreasi dengan olahan komoditasnya, juga digelar pelatihan pengelolaan pasca panen seperti pada komoditas kopi, membuat Green House. Menariknya, kelompok KUPS digerakkan kelompok perempuan (ibu-ibu) desa,” ucapnya.

PT Pusri menilai selama ini masyarakat terutama petani kopi masih belum menerapkan pemupukan yang seimbang dan ideal bagi tanaman nan berpotensi merusak lingkungan.

“Tidak hanya pengenalan pupuk, PT Pusri berupaya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama dari pemerintah setempat agar kemudian desa ini pun, menjadi salah satu destinasi wisata menarik di kota Pagar Alam yang berkelanjutan,” ujarnya menjelaskan. 

Adat Lestarikan Hutan

Pada tahun 2020, lokasi ini telah disahkan sebagai Hutan Adat pertama di Sumsel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah diusulkan sejak 2018. Pola kemitraan yang dikembangkan ialah Perhutanan Sosial Hutan Adat. 

Desa Tebat Benawa pun telah menjadi Desa Wisata oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2022.

Ketua Masyarakat Adat Dusun Tebat Benawa Budiono menceritakan jika hutan adat telah lebih berusia 100 tahun atau sekitar satu abad.

Budiono yang merupakan keturunan ketiga sebagai Tetua Adat mengungkapkan jika masyarakat desa melestarikan hutan sebagai adat yang mengikat secara turun temurun.

“Kami melarang masyarakat merusak hutan, tidak diperkenankan mengambil hasil hutan untuk kepentingan pribadi, menguasai lahan hutan, apalagi sampai merusak aliran air. Kami menjaga hutan agar sumber mata air bagi pertanian, dan keperluan air bagi kampung. Berarti menjaga hutan adat, sama baiknya dengan menjaga keberlangsungan hidup di desa,” ujarnya.

Dia dan masyarakat desa meyakini kerusakan hutan adat akan membawa petaka bagi masyarakat desanya. Hutan adat seluas 336 hektar (ha) menyimpan fungsi penting selain sebagai serapan (penyimpan) sumber mata air, tempat tumbuhan endemik, menjaga suhu udara tetap dingin, juga melindungi desa dari potensi bencana alam seperti banjir dan longsor.

“Bagi kami warga desa, hutan sangat penting, karena itu kami menjaganya sebagai adat yang diturunkan secara turun temurun. Dan masyarakat pun mematuhinya sebagai hukum adat yang mesti dijalankan,” ucapnya.

Budiono memastikan jika kerusakan hutan adat lebih bukan karena masyarakat desa, tapi masyarakat datangan yang kemudian pun dilawan dengan menggunakan hukum adat setempat. “Misalnya ada yang merusak, kami peringatkan, warga desa bersatu padu melawan mereka yang merusak hutan. Itu pernah kejadian di tahun 1990 an yang mana warga datangan kami usir, dan kebunnya kami rusak karena ia membuka kebun di hutan adat,” ucap ayah dua anak ini.

Berdasarkan inventaris warga desa, hutan Adat ini masih menyimpan ragam vegetasi endemik dengan ukuran yang beragam. Paling besar, diakui Budiono, jika hutan adat masih memiliki pohon dengan diameter lebih dari empat meter.

“Di hutan masih ada pohon Tenam, Cemage, Mampat, Medang, dan pohon endemik lain. Tentu ada tanaman hutan pada biasanya, seperti anggrek hutan dan lain-lain,” ungkapnya

Untuk satwa, Budiono mengungkapkan jika masyarakat masih menjumpai jejak harimau Sumatera serta hewan liar hutan lainnya. 

Hutan adat diakui telah melindungi ribuan warga desa Tebat Benawa dengan menyediakan sumber mata air, penghormatan akan adat nan lestari serta daya tarik wisata di desa.

“Warga desa hanya diperbolehkan mengusahakan lahan-lahan di sekeliling hutan adat dengan menanam ragam tanaman, jika pun ingin mengambil kayu hutan hanya diperbolehkan untuk keperluan bangunan umum, seperti tempat ibadah mushola, selebihnya hutan akan terus dijaga sebagai adat yang mengikat,” katanya sembari meyakini nilai hutan adat lestari maka masyarakat pun akan sejahtera. 

Pemerintah Kota Pagar Alam pada kesempatan peresmian menyambut baik inisiatif serta kolaborasi antar pihak dengan hadirnya Rumah Produksi Kopi Ringkeh.

Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemkot Pagar Alam, Dawam mengatakan jika kota Pagar Alam memiliki 62 persen yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, sementara 38 persen lainnya ialah kawasan budidaya.

“Kota Pagar Alam merupakan paru-paru Sumsel dengan PDRB penyumbang kontribusi berasal dari pertanian kopi, sayuran, dan buah-buahan sekaligus jasa perdagangan, dan pariwisata,” ujarnya.

Kopi Pagar Alam sudah terkenal sejak penjajahan Belanda dengan jenis robusta. Petani meyakini jika jenis Robusta, memiliki ketahanan hama sekaligus pemasaran yang lebih mudah.

“Dengan peresmian Rumah Produksi, pemerintah pun semakin berharap akan mampu mendongkrak ekonomi daerah. Meski lahan semakin sempit, namun upaya intensifikasi dengan sambung pucuk pada tanaman kopi akan menambah produksi kopi asal Pagar Alam ini,” ucapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini