SuaraSumsel.id - Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Maret 2025 mengguncang Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Tidak hanya menyeret sejumlah pejabat, tetapi juga membongkar skandal besar terkait sembilan proyek bernilai miliaran rupiah yang diduga menjadi jatah oknum DPRD OKU.
Proyek-proyek yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan bagi masyarakat kini justru disorot sebagai ajang bancakan para elite.
Dari rehabilitasi rumah dinas hingga pembangunan infrastruktur jalan, setiap proyek kini menjadi bukti nyata dugaan penyalahgunaan anggaran.
Baca Juga:Gubernur Sumsel Soal OTT Pejabat OKU: Ini Jadi Pembelajaran bagi Semua
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk meninjau urgensi proyek-proyek tersebut.
Jika diperlukan, proyek-proyek yang terindikasi bermasalah bisa diberhentikan sementara demi memastikan tidak ada celah bagi praktik korupsi.
"Terkait proyek, pastinya akan ditindaklanjuti dengan pemerintah daerah, jika memang harus status quo maka di-status quo-kan," ujarnya.
Meski KPK menyoroti dugaan korupsi dalam proyek-proyek tersebut, Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan bahwa tidak semua pembangunan harus dihentikan.
Jika proyek tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, seperti pembangunan jalan dan jembatan yang menunjang mobilitas warga, maka pelaksanaannya bisa tetap dilanjutkan.
Baca Juga:Pj Bupati OKU Disebut Hadir Saat Anggota DPRD Tagih Fee Proyek, KPK Ungkap Fakta Baru
Namun, proyek yang dianggap kurang mendesak, seperti rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati, dapat ditunda hingga perkara hukum selesai.
“Jika untuk kepentingan orang banyak, seperti jalan dan jembatan, tentu akan dipertimbangkan. Tapi kalau rehab rumah dinas, itu bisa dikesampingkan dulu,” ujar Setyo.
Meski proyek di OKU telah menggunakan sistem digital melalui e-katalog, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkap fakta mengejutkan: sejak awal, pengadaan proyek ini sudah dikondisikan.
Para pejabat terkait, mulai dari Kepala Dinas hingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), diduga berangkat ke Lampung Tengah untuk mencari perusahaan yang bersedia "meminjam bendera"—hanya sebagai kedok administrasi, sementara pengerjaan proyek sudah ditentukan lebih dulu.
Lebih mencengangkan lagi, skema korupsi ini telah disepakati sejak awal dengan pembagian keuntungan sebesar 22 persen, di mana 20 persen dialirkan ke para wakil rakyat, sementara 2 persen menjadi jatah pribadi oknum tertentu.
“Ada konspirasi, pemufakatan jahat, agar uang APBD diberikan kepada pihak-pihak lain secara tidak wajar alias tidak resmi, dari pokir dan perubahan APBD nantinya,” tegas Setyo.
- 1
- 2