SuaraSumsel.id - Meskipun dijual dengan harga yang terjangkau, rupanya proses pembuatan tempe tak begitu mudah. Makanan yang mengadung prebiotik dan kaya protein ini butuh waktu tiga hari baru bisa sampai ke konsumen.
Usaha tempe di Palembang masih harus berjuang dengan mengandalkan bahan baku kedelai impor sampai tak bisa menaikkan harga.
Tempat produksi tempe juga masih didominasi menggunakan peralatan tradisional, salah satunya seperti di Kampung Tempe di Jalan Macan Kumbang, Perumahan Industri Tahu Tempe (Kopti), Palembang.
Disebut Kampung tempe karena setidaknya terdapat 60 warga yang menjadi produsen Tempe di komplek tersebut. Salah satunya, Asnafiyah yang sudah puluhan tahun menggeluti usaha pembuatan tempe bersama suami dan keempat anaknya. Dalam satu hari dirinya biasanya memproduksi sebanyak satu kwintal kedelai perhari.
Baca Juga:Ngaku Dapat Bisikan Gaib, Pelaku Penikaman Jemaah Masjid di Sumsel Serahkan Diri ke Polisi
Semua tahapan pembuatannya dilakukan tanpa alat modern, mulai dari pencucian kedelai hingga tempe siap masuk dapur untuk diolah.
Asnafiyah menjelaskan mulanya kedelai yang diimpor dari Cina tersebut harus dibersihkan dan direndam selama 15 menit.
“Kemudian barulah direbus selama satu hingga dua jam sampai kedelai menjadi lembut,”jelasnya, Kamis (28/5/2021).
Asnafiyah menerangkan, sebenarnya kualitas kedelai lokal lebih bagus namun jumlahnya tidak banyak dan dihargai sangat murah Rp5.000 perkilogram atau setengah harga dari harga kedelai impor.
Perebusan kedelai pun masih menggunakan kayu bakar, hal ini dilakuakan agar kedelai matang dengan sempurna pada semua bagian. Sedangkan jika menggunakan kompor, kedelai sering masak tidak merata.
“Usai direbus, kedelai harus direndam kembali dengan air bersih selama semalaman hingga air rendaman mengental sebagai tanda bakal jadi tempe yang sempurna,” lanjut ia.
Pemberian ragi agar kedelai terfermentasi. Kedelai dan ragi harus dicampur merata agar jamur fermentasi dapat tumbuh dengan baik, lalu didiamkan sejenak barulah tempe bisa dibungkus baik menggunakan plastik atau menggunakan daun pisang.
Baca Juga:Gubernur Sumsel Dukung Program Food Estate untuk Stabilitas Pangan
“Pembeli lebih suka, tempe yang berbalut dengan daun katanya lebih wangi daripada dibungkus plastik. Padahal sama saja,” ungkapnya.
Penggunaan daun pisang sebagai pembungkus tempe, dinilai produsen tempe lebih mahal ketimbang plastik. Sedangkan jika daun pisang, kendala terkadang ada bagian yang tidak bagus,terlalu kecil atau robek maka harus dibuang sehingga lebih boros.
Pada dasarnya pembungkusan sama saja, kedelai yang telah diragi dimasukan ke daun atau plastik yang sudah diberi lubang kecil-kecil agar ada ruang udara.
Normalnya satu kwintal kedelai bisa menghasilkan 48 bungkus tempe berukuran panjang kemudian bisa menjadi 12 potong tempe yang dijual di pasar. Harganya pun berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp10.000.
“Kalau sudah dibungkus belum langsung dijual, masih menunggu sehari lagi diangin-anginkan saja, tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Jadi totalnya 3 hari proses pembuatannya baru besoknya bisa djual ke pasar,”terang ia.
Meskipun harga kedelai terus meningkat, warga Kampung tempe tidak bisa menaikan harga tempe karena khawatir akan kurang peminat. Produsen terpaksa harus mengencangkan ikat pinggang mengurangi sedikit ukuran dan terkadang harus mengambil untung minim.
Pernah melakukan protes pada pemerintah hingga mogok kerja pada awal tahun 2021, kedelai sempat ditetapkan di angka Rp 9.700 namun tak berlangsung lama, kini harganya kembali melambung menjadi Rp 10.400.
Kontributor: Fitria