- Kampung Kapitan dan Kampung Al Munawar di tepi Sungai Musi menawarkan eksplorasi sejarah dan akulturasi budaya Palembang.
- Kampung Kapitan merupakan permukiman Tionghoa tertua dengan arsitektur Tiongkok-Melayu, sedangkan Al Munawar berbasis keturunan Arab Hadramaut.
- Akses ke dua kampung ini dapat melalui jalur darat beraspal atau jalur air menggunakan perahu ketek dari Dermaga BKB.
SuaraSumsel.id - Kota Palembang kembali menjadi sorotan wisatawan yang gemar mengeksplorasi sejarah dan budaya. Dua destinasi yang berada tepat di tepi Sungai Musi, Kampung Kapitan dan Kampung Al Munawar, menawarkan pengalaman jelajah yang memadukan arsitektur klasik, kehidupan tradisional, dan kisah panjang akulturasi budaya.
Dua kampung tua ini bukan hanya tempat berfoto, tetapi ruang hidup yang menyimpan jejak masa lampau Palembang.
Kampung Kapitan, yang terletak di kawasan 10 Ulu, dikenal sebagai permukiman Tionghoa tertua di Palembang. Rumah panggung kayu berusia lebih dari seabad berdiri kokoh dengan gaya arsitektur perpaduan Tiongkok–Melayu.
Pengunjung dapat melihat langsung ruang keluarga, balai pertemuan, hingga altar leluhur yang masih terawat. Suasananya tenang, seolah membawa wisatawan kembali ke masa ketika para pedagang Tionghoa membangun komunitas di wilayah bantaran sungai.
Baca Juga:Bank Sumsel Babel Hadir Lebih Dekat bagi Masyarakat Pulau Rimau melalui Kantor Kas Baru
Tak jauh dari Kapitan, berdiri Kampung Al Munawar, kawasan Arab berusia lebih dari 300 tahun yang dihuni keturunan Hadramaut. Lorong-lorong sempit, rumah-rumah besar berarsitektur Timur Tengah, serta aktivitas warganya yang masih memegang tradisi Islam menjadi daya tarik utama. Wisatawan dapat menikmati kuliner khas seperti maksuba, srikaya Arab, atau sekadar berbincang dengan warga. Suasana kampung yang autentik membuat setiap sudut terasa sangat fotogenik.
Dua destinasi ini dapat diakses melalui jalur darat maupun jalur air.
Melalui jalur darat, wisatawan dapat mengambil rute Jl. KH Azhari menuju kawasan 10 Ulu dan 13 Ulu. Akses jalan sudah beraspal, dan pengunjung dapat memarkir kendaraan di area yang disediakan warga sekitar sebelum berjalan masuk menuju kampung. Ongkos transportasi online dari pusat kota ke kedua lokasi berkisar Rp15.000–Rp30.000, tergantung jarak.
Sementara itu, jalur air menjadi opsi favorit wisatawan. Dari Dermaga Benteng Kuto Besak (BKB), pengunjung dapat menumpang perahu ketek menuju Kampung Kapitan maupun Al Munawar. Biayanya terbilang terjangkau, rata-rata Rp10.000–Rp20.000 per orang, tergantung jumlah penumpang. Selain lebih cepat, perjalanan dengan ketek memberikan pengalaman unik menyusuri Sungai Musi seperti pedagang tempo dulu yang dahulu menghidupkan denyut ekonomi Palembang.
Dengan rute yang mudah dan biaya yang ramah di kantong, Kampung Kapitan dan Al Munawar menjadi destinasi wajib bagi pelancong yang ingin merasakan kehidupan sejarah di tepian Sungai Musi. Dua kampung ini tidak hanya menyimpan cerita, tetapi menghadirkan pengalaman budaya yang masih terjaga hingga kini.
Baca Juga:Sudah 4 Daerah Terjerat Korupsi Dana PMI di Sumsel: Kok Bisa Dana Kemanusiaan Disalahgunakan?
Rute ke Lokasi Wisata & Estimasi Biaya
Kedua destinasi ini dapat dicapai dengan dua pilihan rute:
1. Jalur Darat
Melalui Jl. KH Azhari, wisatawan dapat langsung menuju kawasan 10 Ulu (Kampung Kapitan) lalu melanjutkan ke 13 Ulu (Kampung Al Munawar).
Estimasi biaya kendaraan online: Rp15.000 – Rp30.000 dari pusat kota.
Biaya parkir: Rp3.000 – Rp5.000.
Jalur darat cocok bagi wisatawan yang ingin berjalan kaki menyusuri kampung sekaligus menikmati suasana permukiman tradisional.
2. Jalur Air (Perahu Ketek dari Dermaga Benteng Kuto Besak)
Pilihan ini menjadi favorit karena menawarkan pengalaman menyusuri Sungai Musi seperti pedagang tempo dulu.
Biaya sewa perahu ketek:
Rp10.000 – Rp15.000 per orang untuk perjalanan singkat ke Kapitan.
Rp15.000 – Rp20.000 per orang untuk rute ke Al Munawar.
Untuk rombongan, sewa perahu bisa Rp150.000 – Rp250.000 per kapal (kapasitas 6–10 orang).
Waktu tempuh: ±10 menit ke Kapitan dan ±15 menit ke Al Munawar.
Banyak wisatawan memilih jalur air karena mereka bisa melihat kedua kampung dari perspektif Sungai Musi—cara yang menggambarkan bagaimana peradaban Palembang tumbuh dan berkembang di sepanjang aliran sungai terbesar di Sumatera Selatan tersebut.