SuaraSumsel.id - Penunjukan Mawardi Yahya sebagai Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menimbulkan tanya di ruang publik.
Bukan karena kiprah politiknya yang tidak asing, tapi lebih karena rekam jejaknya yang belum dikenal dalam bidang ekonomi, keuangan, maupun penerbangan.
Lantas, apa dasar penunjukan ini? Dan seberapa berpengaruhkah latar belakang Mawardi dalam mengemban jabatan di tubuh BUMN sebesar Garuda Indonesia?
Mawardi Yahya dikenal luas sebagai politisi asal Sumatera Selatan.
Baca Juga:Banser Turun ke Tribun, GP Ansor Sumsel Siap Kawal Sriwijaya FC di Laga Home
Ia pernah menjabat sebagai Bupati Ogan Ilir dua periode yakni 2005–2015, kemudian menjabat sebagai Wakil Gubernur Sumsel periode 2018–2023 mendampingi Herman Deru.
Dalam Pilpres 2024, Mawardi menjadi Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran di Sumsel, dan sukses mengantar pasangan tersebut menang hingga 60 persen di wilayah ini.
Namun, dalam kacamata profesionalisme BUMN, jabatan komisaris bukan sekadar penghargaan politis.
Jabatan mengemban fungsi vital dalam pengawasan kinerja direksi, tata kelola perusahaan, hingga pemulihan finansial pasca restrukturisasi Garuda.
Pengalaman Kelola APBD
Baca Juga:Kopi Sumsel Siap Ekspor, Ini Strategi 'Closed Loop' OJK yang Buka Akses untuk Petani
Latar belakang Mawardi Yahya tidak menyentuh sektor ekonomi makro atau korporasi besar atau publik secara langsung.
Ia tidak pernah tercatat sebagai profesional bisnis, CEO, ekonom praktisi, atau ahli keuangan.
Namun, sebagai kepala daerah selama hampir 15 tahun, ia punya pengalaman mengelola APBD, program-program pembangunan, dan tentu saja, relasi politik yang luas.
Membuat publik bertanya: apakah itu cukup untuk menjadi Komisaris Independen, posisi yang idealnya diisi tokoh profesional non partisan dengan kapasitas pengawasan tinggi?
Apalagi, Garuda Indonesia sedang menghadapi tantangan berat: restrukturisasi utang, efisiensi operasional, dan pemulihan pasca pandemi.
Dalam situasi seperti ini, peran komisaris tak bisa hanya simbolik atau sekadar imbalan loyalitas politik.
Publik Mulai Kritik: Hadiah Politik atau Kontribusi Nyata?
Penunjukan tokoh politik ke kursi komisaris bukan hal baru.
Namun, gelombang kritik terus menguat terutama dari kalangan profesional dan pengamat BUMN.
Jika penunjukan ini semata bentuk "penghargaan" atas kesuksesan politik mendukung Prabowo-Gibran, maka risiko jangka panjang adalah menurunnya kepercayaan terhadap reformasi BUMN yang dijanjikan.
Sebaliknya, jika Mawardi mampu membuktikan kapasitasnya dalam menjalankan fungsi pengawasan secara kritis dan objektif, maka ia bisa mengubah skeptisisme menjadi prestasi.
Kini, publik menanti: apakah ini hanya jabatan, atau akan benar-benar membawa dampak bagi Garuda Indonesia yang sedang terbang rendah?