SuaraSumsel.id - Tanah merah yang menjadi jalan utama menuju Desa Sumber Jaya di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, belum sepenuhnya kering. Tanah yang basah sisa hujan semalam tak menyurutkan semangat pasangan Sugiyono (67) dan Sariyem (58) memanen kelapa sawit.
Sore itu, keduanya terlihat sibuk mengumpulkan buah tandan sawit yang masih kecil, sawit buah pasir. Satu per satu tandan buah sawit segar dikumpulkan di lahan sawit yang lembab. Menurut Sugiyono, tumpukan sawit buah pasir itu sudah hasil panen maksimal dari lahan yang dimilikinya saat ini.
Dari kebun sawit yang berukuran tidak lebih dari genggaman anak-anak ini kemudian ditumpuk di tengah rumah. Rumah berlantai tanah yang merupakan pemberian kakak ipar ini sengaja dipakai sebagai “lumbung” tandan sawit yang masih muda.
Selama hampir belasan tahun, pasangan dengan tujuh anak ini hidup mengandalkan kebun sawit seluas setengah hektar. Lahan milik Sugiono ini adalah lahan sisa program transmigrasi di mana lahan induknya tengah “dicaplok” oleh perusahaan sawit di wilayah tersebut.
Baca Juga:Cuaca Hari Ini: Sumsel Potensi Berawan Dengan Hujan Sedang Hingga Dini Hari
Dalam dua pekan, Sugiyono hanya mampu mengumpulkan sekitar tiga kuintal tandan buah sawit ukuran pasir. Dengan harga jual rata-rata Rp1.750 per kilogram, Sugiono hanya mengantongi uang sekitar Rp 525.000 per dua pekan atau Rp1,05 juta per bulan.
Penghasilan ini belum mampu mencukupi kebutuhan keluarganya apalagi membeli pupuk bagi tanaman sawit. “Penghasilan bulanan tidak cukup membuat anak-anak dengan nyaman bersekolah,” keluh Sariyem yang mempunyai tujuh orang anak.
Anak pertamanya putus sekolah 2019 lalu di saat perluasan lahan sawit sedang ekspansif di Sumatera Selatan pada saat itu. Dia meninggalkan bangku kelas dua SMP lalu memutuskan bekerja di luar Bumi Sriwijaya demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Anak yang keenam juga memutuskan keluar dari sekolah. “Padahal sudah dibujuk dan turut diantar ke sekolah tapi mentalnya sudah tidak mau lagi. Kami pun kebingungan, sekarang ia di rumah saja,” ucapnya.
Menurut Sariyem, anaknya yang berusia delapan tahun tak ingin ke sekolah sejak dua tahun lalu. Dia bingung memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku latihan yang nilainya mencapai ratusan ribu rupiah. “Bahkan anak pun tidak ada uang jajan ke sekolah,” ujar Sariyem.
Baca Juga:Pengusaha Sawit Mularis Djahri Dibebaskan, Anaknya Masih Ditahan Polda Sumsel
Pemerintah Kabupaten Muara Banyuasin memang melaksanakan program sekolah gratis. Namun, bagi Sariyem itu belum cukup karena ada kebutuhan sekolah lain yang harus dibeli dari kocek sendiri alias tidak ditanggung oleh pemerintah daerah maupun sekolah. “Apalagi saat pandemi yang harus belajar di rumah, buku latihan mesti ada,” kata Sariyem yang mengandalkan Program Keluarga Harapan untuk kebutuhan sekolah ini.
Pupus harapan sekolah juga diceritakan Ngatio (58). Dia bercerita mengenai anak laki-lakinya yang meninggalkan desa karena tidak bisa menamatkan pendidikan dasar karena alasan ekonomi.
Ngatyo terpaksa menjual lahan sawit karena sudah tidak bisa lagi menutupi kebutuhan keluarga. “Lahan transmigrasi sudah tinggal buat rumah dan pekarangan,” katanya.
Saat ini, Ngatyo memanfaatkan penghasilan sebagai tukang bangunan sementara istri fokus mengurus anak karena tidak ada lagi lahan garapan sawit yang bisa ditanam.
Kisah anak Sugiyono dan Ngatyo yang putus sekolah menguak problem pendidikan di daerah penghasil sawit. Kepala Desa Sumber Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Ari Susanto mengungkapkan, kondisi petani sawit swadaya di desa mereka tergolong sulit.
“Anak-anak putus sekolah mungkin hitungannya tidak banyak, sedikit. Namun yang hidup dalam keterbatasan juga tidak sedikit. Anak-anak masih sekolah meski dengan keterbatasan,” ujarnya.
Menurutnya, anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena kebutuhannya tidak bisa terpenuhi oleh orang tua mereka. Sementara bagi yang sudah di usia sekolah lanjutan lebih memilih meninggalkan desa untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “Yang putus sekolah atau terhenti ini yang anak-anaknya banyak. Yang punya 2-3 orang masih kesulitan memenuhi kebutuhan harian pendidikan apalagi yang lebih dari itu,” imbuh Ari.
Di Desa Sumber Jaya terdapat sekolah dasar (SD) negeri yang biaya pendidikannya gratis. Selain itu, ada juga sekolah tingkat lanjut berupa di Madrasah Pondok Pesantren yang dibantu oleh pihak yayasan di desa sebelah. Ada pula SMP dan SMA Negeri yang jaraknya cukup jauh dari desa. “Tapi jika ada keterbatasan maka sekolah di yayasan Islam di desa tetangga, gratis juga,” ungkap ia.
Angka partisipasi sekolah di Kabupaten Muara Banyuasin terbilang rendah untuk kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata angka partisipasi sekolah di tingkat SD di Kabupaten Muara Banyuasin hanya sebesar 62,88 persen. Ini artinya hanya enam dari 10 orang anak yang berusia 7-12 tahun yang belajar di sekolah dasar. Empat orang lainnya tidak bersekolah dasar.
Sementara rata-rata tingkat partisipasi sekolah untuk SMP sejak 2015-2020 sebesar 75 persen. Ini artinya ada sekitar 3 orang yang tidak bisa mengecap bangku SMP.
Padahal, Kabupaten Musi Banyuasin ini merupakan salah satu lumbung sawit terbesar di Sumatera Selatan. Berdasarkan data BPS, luas lahan perkebunan sawit di Kabupaten Muara Banyuasin mencapai lebih dari 200 ribu hektare dengan tingkat produksi sebesar hampir 1 juta ton pada 2020 lalu. Lahan perkebunan sedikit menyempit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 300 ribu hektare.
Kendati demikian, produktivitas sawit di Kabupaten Musi Banyuasin ini tetap tertinggi diantara daerah penghasil sawit di Sumatera Selatan. Rata-rata produksi sawit Kabupaten Muara Banyuasin sejak 2015 sampai dengan 2020 merupakan yang terbesar diantara kabupaten-kabupaten penghasil sawit lainnya di Sumatera Selatan.
Rata-rata produksi sawit Kabupaten Musi Banyuasin mencapai hampir satu juta ton. Angka produksi sawit ini dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan daerah produksi sawit terbesar kedua di Sumatera Selatan yang sekitar 450 ribu ton.
Minimnya angka partisipasi sekolah di Kabupaten Musi Banyuasin tidak berkaitan langsung dengan ketersediaan fasilitas sekolah dan anggaran pendidikan. Ada 475 sekolah dasar dan 156 SMP di kabupaten yang berpopulasi sekitar 850 ribu orang ini. Sementara alokasi dana pendidikan selama 2015 sampai dengan 2020 cenderung meningkat. Anggaran pendidikan di Kabupaten Muara Banyuasin mencapai Rp3,28 triliun pada 2020. Rata-rata anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin selama 2015 hingga 2020 merupakan yang terbesar dibandingkan daerah penghasil sawit lainnya yakni sebesar Rp3 triliun per tahun.
Kondisi serupa juga terjadi di dengan daerah penghasil sawit lainnya di Sumatera Selatan. Luas lahan yang semakin luas dan tingkat produksi sawit tidak selamanya berdampak positif bagi tingkat pendidikan anak-anak.
Di Kabupaten Banyuasin, daerah penghasil sawit terbesar kedua di Sumatera Selatan pada 2020, angka partisipasi sekolah justru cenderung menurun dibandingkan pada 2015 lalu. Bila pada 2015, seluruh anak ikut sekolah dasar maka pada saat lahan perkebunan dan produksi kelapa sawit di Kabupaten Banyuasin melompat empat kali lipat dari 2015 tingkat anak yang bersekolah justru turun menjadi menjadi 99,49%. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan ada 606 orang anak putus sekolah dasar pada 2020. Ini angka putus sekolah terbesar dalam lima tahun terakhir di saat jumlah bangunan sekolah dasar justru semakin bertambah.
Kepala Desa Sidomulyo Kabupaten Banyuasin Rahmat menceritakan rata-rata anak yang putus sekolah di daerahnya mulai dari jenjang SD yang akan melanjutkan ke SMP. Ada juga lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Dia menyebutkan setiap tahun jumlah tak lebih dari 10 orang. “Sudah tidak mau bersekolah lagi karena penghasilan orang tua dari sawit terbatas, tidak juga ada penghasilan tambahan lainnya,” ujarnya kepada Suara.com, Minggu (22/10)
Potret buram masa depan pendidikan di lumbung sawit diakui oleh Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Selatan, M. Yunus. Menurutnya, bertanam sawit membutuhkan dukungan modal yang cukup besar apalagi bila dihadapkan pada infrastruktur atau penyeberangan sungai yang tidak ideal.
“Beban angkut menjadi sharing petani juga. Itu kenapa misalnya polemik sawit seperti anak-anak petani putus sekolah dan lainnya cenderung ditemukan di wilayah-wilayah perkebunan swadaya dengan infrastruktur yang tidak cukup mendukung atau ada penyebab lainnya,” katanya.
Sekretaris Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Awaluddin menjelaskan, anak-anak yang putus sekolah di daerahnya bukan disebabkan oleh faktor kemiskinan semata. Sebaliknya, dia mengatakan banyak anak-anak yang putus sekolah justru karena orang tuanya cukup mapan baik dari hasil pertanian.
Dia mencontohkan anak-anak perempuan yang sudah usia 16 tahun kemudian dipaksa menikah dini oleh orang tua mereka. “Ini lebih karena faktor budaya. Buat apa sekolah karena sudah ada harta,” tegasnya. Rupanya, kaya atau miskin karena hasil perkebunan sawit juga problematik.
Tulisan ini merupakan Fellowship pelatihan "Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.