SuaraSumsel.id - Siapa sangka, dari akar-akar mangrove yang baru dua tahun ditanam di pesisir Sungsang IV, Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) lahir kembali kehidupan yang hampir punah.
Nelayan setempat dikejutkan dengan kemunculan ikan tirusan, spesies endemik bernilai ratusan juta rupiah per kilogram yang selama bertahun-tahun tak pernah terlihat lagi.
Bagi masyarakat pesisir yang hampir seluruhnya menggantungkan hidup pada laut, kemunculan ikan itu bukan sekadar tanda alam yang ramah. Ia adalah bukti nyata bahwa ekosistem yang sempat rusak, kini mulai pulih kembali.
Mangrove yang Menyulam Harapan
Baca Juga:Semangat Kemerdekaan! SKK Migas Sumbagsel Gelar Upacara HUT RI ke-80 di Tengah Laut
Kebangkitan ini berawal dari program penanaman mangrove yang digagas SKK Migas Sumbagsel bersama 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah Sumbagsel.
Sejak 2024, mereka menanam 31 ribu pohon mangrove di kawasan pesisir Sungsang IV, bekerja sama dengan kelompok masyarakat LDPHD setempat.
Di antara KKKS itu, ada PHR Regional 1 Zona 4, PHE Jambi Merang, Medco E&P Indonesia, Medco E&P Grissik Ltd, Seleraya Merangin Dua, Sele Raya Belida, Tately N.V., Repsol Sakakemang BV, Odira Energi Karang Agung, Tiarabumi Petroleum, SSY Petroleum Pte Ltd, hingga Tropik Energi Pandan.
Manager Field Relations & CE Medco E&P Indonesia Hirmawan Eko Prabowo mengisahkan bahwa inisiatif ini lahir dari kajian akademis. “Mangrove memiliki kontribusi besar dalam mereduksi karbon. Karena itu kami memulai program ini pada 2024 dengan menanam puluhan ribu bibit,” jelasnya.
Setahun berselang, mangrove itu bukan hanya tumbuh, tapi juga menghidupkan kembali denyut ekosistem pesisir. Masyarakat ikut serta menanam dan merawat, sembari menyadari bahwa menjaga hutan berarti menjaga masa depan mereka sendiri.
Baca Juga:Kenapa Pelabuhan Tanjung Carat Banyuasin Jadi Proyek Strategis yang Dikebut Sumsel?
Kepala Desa Sungsang IV, Romi Adi Candra, menegaskan bahwa desa mereka mendapatkan kepercayaan mengelola 500 hektare kawasan hutan desa berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023.
Letaknya strategis yakni berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sembilang dan hampir seluruh wilayahnya merupakan hutan lindung serta hutan produksi.
“Desa kami ibarat pintu gerbang pesisi. Dengan adanya mangrove, kami bukan hanya menjaga alam, tapi juga menghidupkan desa,” ujarnya.
Dulu, pembukaan lahan secara serampangan sempat membuat wilayah ini kritis.
Banyak ikan menghilang, termasuk ikan tirusan yang menjadi primadona nelayan.
Namun sejak masyarakat mulai merawat mangrove, hutan kembali menghijau, air laut lebih jernih, dan perlahan, ikan-ikan endemik kembali ke perairan Sungsang.