Kendati demikian, kenaikkan TBS menjadi penyebab harga sarana produksi, seperti harga pupuk mengalami peningkatan hingga 90 persen bahkan ganti harga dua kali lipat.
"Naik luar biasa pupuk saat ini. Padahal menurut petani tidak ada hubungannya pupuk naik tajam bahkan lebih dari kenaikkan CPO," papar Yunus.
Saat ini disampaikan Yunus, harga pupuk dari Rp4.000 per kilogram menjadi Rp8.000, bahkan ada yang menginjak Rp10.000.
Karena hal itu, Yunus mengakui kalau para petani menganggap tidak adanya keseimbangan antara harga pupuk tinggi dengan naiknya TBS saat ini.
Baca Juga:Pengusaha Arifin Panigoro Meninggal Dunia, Pernah Ungkap Mulai Bisnis Minyak dan Gas dari Sumsel
"Selain mahal, pupuk juga susah untuk di dapat. Tidak berimbang, jadi boleh dibilang hampir tidak ada artinya kenaikkan sawit dengan peningkatan harga pupuk. Karena 60 persen biaya produksi itu ialah pupuk," sambungnya.
Diketahui dari Yunus, petani sawit Sumatera Selatan (Sumsel) terbagi menjadi dua macam yakni petani swadaya dan plasma.
"Kalau petani swadaya mereka mengelola kebun sawit sendiri dari tanam sampai panen. kemudian menjual TBSnya ke tengkulak atau pengumpul yang terdekat dengan kebun," ujarnya.
Petani plasma yang manajemen satu atap, pengelolaannya mulai dari pembangunan sampai perawatan dan panen dilakukan oleh perusahan.
Kemudian TBSnya dijual ke pabrik kelapa sawit. Sementara para petani, hanya mengawasi serta terlibat dalam operasi atau sebagai pekerja dan tidak pada ranah manajemen.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca Sumsel 28 Februari 2022, BMKG: Hujan Sedang hingga Lebat Disertai Petir dan Kilat
"Sedangkan untuk petani plasma yang tidak menajemen satu atap, mereka mengelola sendiri kebunnya dan tetap menjual TBSnya ke pabrik kelapa sawit," papar Yunus.