SuaraSumsel.id - Pemerintah provinsi dan DPRD mensahkan Peraturan Daerah (Perda) mewajibkan tanjak menjadi arsitektur sekaligus ornamen wajib gedung pemerintahan di Sumatera Selatan.
Tanjak yang menjadi bagian dari pakaian adat pria ini memiliki filosofi.
Budayawan sekaligus sejahrawan Palembang, Kemas Ari Panji mengungkapkan tanjak yang merupakan identitas budaya yang memiliki arti sangat besar.
Selama ini, terjadi kesalahpahaman masyarakat mengenai tanjak yang mengartikan tanah yang dipijak. "Hal tersebut keliru," ucapnya, Kamis (18/2/2021) lalu.
Baca Juga:Gara-gara Kirim Foto Syur, Guru Cantik di Palembang Diperas Teman Facebook
Kata Tanjak berasal dari kata Tanjak atau nanjak dalam bahasa Palembang artinya naik, meninggi atau ke arah tempat yang lebih tinggi.
Dengan bentuknya segitiga mengerucut ke atas, maka peruntukkannya menjadi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Artinya sangat dalam," tegasnya.
Filosofi tanjak yakni jika seseorang ingin mendapatkan derajat ditinggikan atau ingin naik derajat maka berdoa kepada sang pencipta.
Maka Tanjak itu suatu yang ditinggikan bukan tanah dipijak sebagai singkatkan dari tanjak seperti kesalahpahaman selama ini," terang ia.
Baca Juga:Tilang Elektronik Segera Diuji Coba di Kota Palembang
Mengenai pemakaiannya di atas kepala, sambung Kemas, karena kepala merupakan bagian terpenting bagi tubuh manusia. Di kepala terdapat otak dan kepala selalu dimuliakan.
“Tidak pernah ada orang yang memakai Tanjak di Leher atau di dengkul,” canda Kemas.
Mulanya, tanjak menggunakan kain Batik, Pradan, Angkinan kemudian kini setelah dipopulerkan juga ada yang berbahan kain songket.
Hingga kini, banyak tanjak berbahan songket. “Namun saat ini pengrajin pradan dan angkinan,batik sudah banyak hilang jadi orang hanya memakai songket karena tidak ada pilihan kain.” ucap Kemas.
Kemas pun mengapreasiasikan pemerintah yang telah menjadikan tanjak menjadi ornamen wajib bagunan gedung perkantoran pemerintahan di Sumsel.
Hal tersebut mampu menjadikan tanjak sebagai identitas budaya yang kemudian diimplemetasikan dalam arsitektur bangunan publik.
Sebagai langkah awal, Pemprov memperlihatkan komitmen menjaga budaya lokal membuat gerbang bangunan Griya Agung membetuk tanjak.
Salah satu penggiat batik sebagai bahan tanjak adalah Agus Sari Yasin. Pemilik Rumah Batik Palembang yang berada di Griya Duta Lestari, Talang Betutu Palembang membuat tanjak berbahan batik tulis.
Menurutnya, saat ini di Palembang hanya dirinya lah yang masih membuat batik dengan cara manual menggunakan canting tanpa menggunakan mesin cetak.
Harga tanjak berbahan batik dengan teknik manual dijual berkisar Rp 150.000 hingga Rp 200.000.
“Jika tanjak yang berbahan batik lebih mahal. Sedangkan harga Rp 150.000 itu bagi tanjak yang dilipat sendiri,”ungkapnya.
Kontributor : Fitria