Tasmalinda
Sabtu, 15 November 2025 | 12:56 WIB
ibu-ibu di desa Gajah Mati Musi Banyuasin mengelola toga
Baca 10 detik
  • Yeni Lusmita mengolah tanaman obat dari pekarangan menjadi racikan herbal untuk warga Desa Gajah Mati.

  • Kelompok Herbal Kenanga berkembang melalui pendampingan Medco E&P Indonesia sejak program TOGA dimulai.

  • Racikan herbal yang dibuat Yeni membantu kesehatan masyarakat dan memberi penghasilan tambahan bagi anggota kelompok.

SuaraSumsel.id - “Dulu saya cuma tahu daun salam itu hanya bumbu dapur. Tapi dari daun-daun kecil inilah akhirnya saya belajar membantu orang lain,” ujar Yeni Lusmita sambil meniup sisa-sisa debu daun kering di tangannya.

Pagi itu, aroma jahe merah dan temulawak bercampur dengan udara lembap setelah semalaman hujan turun. Yeni menunduk sebentar, memastikan potongan sambiloto cukup kering sebelum memasukkannya ke oven pengering di sudut ruang produksi. Ruangan itu tidak besar, hanya memuat meja, rak penyimpanan, blender berukuran besar, beberapa nampan stainless, dan oven yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Dari ruang sederhana inilah puluhan racikan herbal lahir, menjadi pegangan kesehatan warga Desa Gajah Mati, Kecamatan Babat Supat, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Perjalanan Yeni sebagai peracik herbal dimulai. Sejak 2011, ketika kegiatan PKK di desanya mengenalkan program Tanaman Obat Keluarga (TOGA), ia sangat tertarik mengenai manfaat tanaman yang lebih dari sekadar bumbu masak.

Desa Gajah Mati sendiri merupakan salah satu desa yang dilalui jalur pipa Medco E&P Indonesia, sehingga perusahaan memberikan pendampingan dan pengembangan kapasitas lokal bagi masyarakat. Saat itu, hampir setiap rumah memiliki tanaman obat, tetapi pengetahuan warga masih sangat dasar.

“Ada kumis kucing, ada kelor, ada sambiloto, tapi ya tumbuh saja. Tidak ada yang tahu bagaimana mengolahnya,” kata Yeni mengenang. Warga hanya memanfaatkan daun-daunan itu untuk kebutuhan dapur.

Masuknya pendampingan Medco mengubah cara pandang masyarakat. Mereka diperkenalkan cara menanam yang baik, teknik pengolahan yang aman, hingga manfaat setiap tanaman bagi kesehatan. Beberapa kelompok TOGA terbentuk, namun hanya satu yang bertahan dan berkembang: Kelompok Herbal Kenanga.

“Kelompok lain jalannya sendiri-sendiri, tapi kami merasa cocok saja. Mungkin karena banyak yang benar-benar ingin belajar,” ujar Yeni saat diwawancarai Suara.com.

Medco kemudian melengkapi kelompok ini dengan berbagai fasilitas produksi: mulai dari oven pengering, blender industri, alat pembuat kapsul herbal, bibit tanaman obat, hingga rak penyimpanan dan timbangan. Pendampingan pun tidak berhenti di dasar pengetahuan; pelatihan berulang diberikan, dari pengenalan tanaman, manfaat zat aktif, teknik pengeringan, sanitasi produksi, sampai pembuatan kompos organik.

Tahun 2013 menjadi titik balik bagi Yeni. Kelompok Kenanga diberi kesempatan mengikuti pelatihan di Yogyakarta dan Jakarta. Untuk pertama kalinya, ia belajar langsung dari herbalis profesional, membedakan tanaman yang mirip namun berbeda khasiat, mengenali kontraindikasi, menentukan dosis aman, hingga menilai kualitas bahan baku. “Saya tidak pernah membayangkan akan disekolahkan seperti itu. Dari situ saya tahu bahwa herbal itu ilmu, bukan sekadar tradisi,” ujarnya. Pengetahuan baru itu membuat perempuan di desanya semakin percaya pada kemampuannya. Perlahan, Yeni dikenal sebagai herbalis Kecamatan Babat Supat.

Baca Juga: Listrik Padam di Paripurna DPRD Sumsel, Benar Gangguan Teknis atau Ada yang Janggal?

Bekal tersebut membuat kelompok Kenanga mulai memproduksi racikan herbal secara lebih serius. Mereka meluncurkan 17 jenis olahan, seperti jahe instan, temulawak instan, minuman serbuk sehat, sirup herbal, teh diabetel, teh asam urat, teh daun kelor, minyak CVO, hingga racikan khusus sesuai kebutuhan pasien.

Dari sekian kisah yang ia lalui, satu pengalaman yang paling membekas adalah ketika seorang perempuan penderita diabetes datang dengan kondisi kaki yang nyaris tidak bisa diselamatkan. “Dia bilang, ‘Bu, kalau pun harus diamputasi, saya pasrah. Tapi dia tetap minta dibuatkan ramuan,’” cerita Yeni. Ia meracik teh herbal dari daun salam, temulawak, sambiloto, serta memberikan minyak kelapa olahannya untuk merawat luka. Perawatan dilakukan setiap hari, perlahan dan penuh kesabaran.

“Alhamdulillah, tidak jadi amputasi,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Kabar itu menyebar cepat. Warga berdatangan membawa botol kosong, memohon ramuan untuk batuk, asam urat, maag, flu, atau sekadar menjaga daya tahan tubuh. “Kalau batuk atau masuk angin, mereka ke sini bawa botol, atau ambil tanaman untuk ditanam lagi,” ujar Yeni.

Kini, pekarangan rumah anggota kelompok Kenanga berubah menjadi kebun obat yang hidup: jahe merah memenuhi sudut pagar, deretan kelor melambai ditiup angin, sambiloto berdiri dengan daun-daunnya yang tajam, dan belasan tanaman obat lain tumbuh tanpa pupuk kimia. Setiap tanaman memiliki peran, dan setiap daun menyimpan cerita.

Meski hampir satu dekade berproduksi, kelompok Kenanga belum memasarkan produk secara luas. Mereka memilih menunggu legalitas BPOM dan surat edar demi keamanan masyarakat. “Biar produk kami aman dulu, baru nanti dijual online,” kata Yeni.

Load More