- Pada 22 Desember 2025, Sriwijaya FC menghadapi putusan hakim atas gugatan pailit yang menentukan kelanjutan klub.
- Krisis finansial dan beban utang bertahun-tahun membawa klub bersejarah ini menuju persidangan penentuan di pengadilan niaga.
- Keputusan pengadilan berpotensi mengancam status profesional klub, menghentikan aktivitas, dan mengakhiri partisipasi kompetisi.
SuaraSumsel.id - Hari ini, 22 Desember 2025, Sriwijaya FC tidak bertarung mengejar gol, melainkan mempertahankan hidupnya. Bukan sorak suporter atau peluit wasit yang menentukan nasib klub legendaris kebanggaan Sumatera Selatan ini, melainkan palu hakim di ruang sidang.
Satu keputusan hakim hari ini, bisa mengubah sejarah yakni memutuskan apakah Laskar Wong Kito masih diberi kesempatan bernapas, atau justru resmi mengakhiri perjalanan panjangnya di sepak bola Indonesia.
Klub yang pernah menjadi “raja” sepak bola nasional itu kini berada di ujung jalan terjal. Gugatan pailit yang diajukan terhadap manajemen Sriwijaya FC memasuki fase krusial, dan palu hakim hari ini berpotensi menentukan satu hal besar yakni apakah legenda ini masih bisa bertahan, atau justru resmi berakhir.
Sulit dipercaya, nama besar Sriwijaya FC yang dulu disegani kini bergantung pada putusan hukum di pengadilan niaga. Klub harus berhadapan dengan persoalan paling mendasar dalam sepak bola modern saat ini, yakni pendanaan sekaligus manajemen.
Baca Juga:Bank Sumsel Babel Dampingi ASN Siapkan Masa Purna Tugas yang Sejahtera
Masalah finansial yang membelit Sriwijaya FC bukan cerita semalam. Bertahun-tahun klub berjalan di atas beban utang, kewajiban tertunda, serta keterbatasan modal operasional. Gugatan pailit oleh pihak Majestic Hotel disidangkan hari ini atas hutang Rp 1 miliar lebih, menjadi puncak dari krisis panjang yang tak pernah benar-benar tuntas.
Putusan pailit bukan sekadar istilah hukum. Jika skenario terburuk terjadi, Sriwijaya FC terancam kehilangan status profesionalnya. Aktivitas klub bisa berhenti, kontrak pemain dan staf menjadi pekerjaan tambahan, dan yang terburuk ialah partisipasi kompetisi terancam tak berlanjut.
Dengan kata lain, Sriwijaya FC bisa “kalah WO” sebelum bertanding, bukan karena tak mampu mencetak gol, tapi karena tak sanggup menyelesaikan kewajiban finansial.
Di balik gugatan dan dokumen hukum, banyak yang ikut menunggu dengan cemas. Pemain bertanya-tanya soal masa depan karier mereka. Pelatih dan ofisial hidup dalam ketidakpastian. Dan para suporter yang selama ini setia meski prestasi merosot menunggu dengan perasaan campur aduk antara marah, sedih, dan berharap.
Bagi banyak orang Sumatera Selatan, Sriwijaya FC bukan sekadar klub. Ia adalah identitas, kebanggaan daerah, dan bagian dari perjalanan hidup daerah. Karena itu, hari ini terasa seperti ujian terakhir sebuah cinta panjang yang terjal.
Baca Juga:Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
Masih Ada Jalan Selamat?
Masih ada secercah harapan yang bisa muncul yakni restrukturisasi utang, kesepakatan damai, atau investor yang datang di detik-detik akhir. Namun waktu hampir habis. Sidang hari ini akan menjadi penentu apakah jalan terjal ini masih menyisakan tanjakan menuju kebangkitan atau justru berujung jurang yang dalam.
Sepak bola biasanya ditentukan oleh peluit wasit. Tapi hari ini, nasib Sriwijaya FC berada di tangan palu hakim. Satu ketukan bisa berarti awal penyelamatan, atau akhir dari sebuah legenda yang pernah menggetarkan stadion-stadion Indonesia. Dan Sriwijaya FC berdiri di persimpangan sejarah.