-
LPBH PBNU melaporkan Trans 7 ke Mabes Polri dan Dewan Pers karena tayangan Xpose Uncensored dianggap menghina kiai dan pesantren.
-
PBNU menilai tayangan tersebut melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berbasis SARA.
-
LPBH PBNU menegaskan permintaan maaf dari Trans 7 tidak cukup dan langkah hukum menjadi upaya final menjaga martabat kiai.
SuaraSumsel.id - Malam Selasa (14/10/2025), udara di sekitar Gedung Bareskrim Polri terasa berat. Bukan karena panas Jakarta, tapi karena rasa kecewa yang dibawa oleh rombongan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBH PBNU).
Tepat pukul 19.30 WIB, mereka resmi melaporkan Trans 7 atas tayangan Xpose Uncensored yang dianggap melecehkan martabat kiai dan pesantren.
Satu jam sebelumnya, pukul 18.30 WIB, laporan serupa juga sudah disampaikan ke Dewan Pers. Aduan itu tercatat dengan nomor 2510026, menandai langkah serius LPBH PBNU yang menilai tayangan tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi penghinaan terhadap simbol agama.
“Bagi kami, kiai bukan sekadar tokoh agama. Mereka guru kehidupan. Kalau simbol itu dijadikan bahan olok-olok, itu luka bagi seluruh warga pesantren,” ujar Aripudin, Ketua LPBH PBNU, dengan suara yang tenang tapi tajam.
Baca Juga:Bukan Sekadar Sponsor, Bank Sumsel Babel Jadi Penggerak di Balik Meriahnya Pornas KORPRI XVI
“Permohonan maaf tidak cukup. Kami menempuh jalur hukum bukan karena marah, tapi karena ingin menjaga martabat,” katanya menegaskan.
Di kalangan Nahdliyin, pesantren bukan sekadar tempat belajar, tapi juga tempat menanamkan adab. Kiai dihormati, bukan hanya karena ilmunya, tapi karena ketulusannya.
Ketika tayangan televisi menampilkan narasi yang seolah mengejek peran kiai, banyak santri dan alumni pesantren merasa tersentak.
“Orang luar mungkin melihatnya cuma humor atau kritik. Tapi bagi kami, itu bentuk perendahan,” ujar seorang alumni pesantren Tebuireng lewat media sosial.
Di platform X (Twitter), tagar #HormatiKiai sempat menjadi trending topic, diikuti seruan agar media berhati-hati mengangkat tema keagamaan. “Kiai adalah penjaga moral bangsa. Kalau beliau dijadikan bahan olok-olok, berarti kita sedang mencemooh nilai-nilai yang menjaga negeri ini,” tulis salah satu pengguna.
Menurut LPBH PBNU, tayangan Xpose Uncensored diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu mengatur tentang larangan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Baca Juga:Kabar Gembira untuk Pekerja Sumsel! UMP 2026 Diusulkan Naik 8 Persen, Tambah Rp200 Ribu Lagi
Aripudin menjelaskan bahwa Dewan Pers telah menerima pengaduan resmi dan diharapkan segera memutuskan kasus ini secara adil. “Kami tidak ingin kejadian seperti ini menjadi kebiasaan. Media punya tanggung jawab moral, bukan hanya rating,” ujarnya.
“Kiai dan pesantren adalah penjaga adab bangsa. Kalau media mulai melupakan adab, kami akan mengingatkannya lewat hukum,” tegasnya.
Kasus ini meluas menjadi perbincangan nasional. Banyak pihak menilai langkah PBNU bukan semata kemarahan, tetapi bentuk pendidikan sosial tentang batas kebebasan berekspresi.
“Media punya hak bicara, tapi publik juga punya hak untuk tidak dihina,” ujar seorang akademisi komunikasi dari UIN Syarif Hidayatullah.
Bagi LPBH PBNU, langkah ini bukan untuk membungkam pers, tetapi untuk memulihkan rasa hormat yang mereka anggap telah dilanggar. “Ini bukan tentang hukum semata. Ini tentang rasa,” kata Aripudin singkat.
Hingga kini, Trans 7 belum memberikan pernyataan resmi atas laporan tersebut. Namun bagi Nahdliyin, pelaporan ini sudah menjadi pesan moral yang jelas: bahwa rasa hormat adalah batas tertinggi kebebasan berekspresi.
Di tengah derasnya arus media dan sensasi, satu hal tetap abadi di pesantren — menghormati guru dan menjaga adab.