Bagi Devi, tantangan itu nyata. “Kadang kami masih kesulitan menjual. Produk menumpuk. Tapi ketika ada pameran, semangat itu kembali. Karena di sana, kami melihat bahwa karya kami dihargai,” ujarnya.
Cerita Devi menunjukkan bahwa dampak PTBA tidak berhenti di ring I operasional. Bahkan masyarakat Palembang yang jauh dari lokasi tambang pun bisa ikut merasakan.
Cerita batik Kujur di Tanjung Enim dan jumputan Devi di Palembang hanyalah potret kecil dari upaya besar PTBA. Semua ini menunjukkan bahwa tambang bukan hanya soal menggali bumi, melainkan juga menumbuhkan kehidupan.
Batubara mungkin akan habis. Tetapi selama kain-kain itu masih dibuat, motif-motif itu masih ditorehkan, dan tangan-tangan itu masih bekerja, harapan tidak akan pernah padam.
Baca Juga:Bukit Asam Sosialisasikan MediaMIND 2025 di Palembang: Tampilkan Inovasi Berbasis Potensi Lokal
PTBA menambang sesuatu yang jauh lebih berharga, tidak hanya batubara namun masa depan masyarakatnya.
Penambang Harapan
Di senja hari, ketika suara tambang mulai mereda, seorang ibu menjemur batik Kujur di halaman rumahnya. Sementara di Palembang, Devi menata jumputan di etalase kecilnya.
Dua perempuan di dua kota berbeda, dua cerita yang bertaut dalam satu benang merah: mereka adalah bagian dari harapan baru yang ditenun PTBA.
Batik Kujur dan jumputan Palembang adalah energi budaya yang tak pernah padam. Dan di sanalah PTBA berdir, sebagai penambang bukan hanya batu, melainkan juga harapan.
Baca Juga:Bukit Asam Sulap Eks Kantor Tambang Jadi Hotel Heritage Standar Internasional, Dorong Pelestarian