SuaraSumsel.id - Setiap kali kalender pendidikan mendekati garis akhir, riuh rendah persiapan perpisahan sekolah selalu mewarnai Sumatera Selatan (Sumsel).
Tawa riang siswa yang membayangkan pesta perpisahan, kesibukan orang tua mencari busana terbaik, dan panitia sekolah yang merancang acara – semua menjadi penanda berakhirnya satu babak dan dimulainya lembaran baru.
Namun, tahun ajaran baru kerap membawa polemik wisuda sekolah di Sumsel, yang dihimbau digelar sederhana tapi potensi pungutan jadi sorotan.
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan (Disdik Sumsel) secara resmi mengeluarkan garis panduan yang mengubah perspektif terhadap acara kelulusan ini: wisuda dan perpisahan bukanlah sebuah keharusan yang mengikat.
Baca Juga:Drama Pelarian 8 Tahanan Polres Lahat: 3 Ditangkap Cepat, 5 Masih Menghilang
Tidak ada larangan eksplisit untuk menggelar acara perpisahan, namun penekanannya jelas: kesederhanaan dan kekhidmatan menjadi prioritas utama.
Disdik Sumsel bahkan menyarankan agar sekolah memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, alih-alih menggelar acara mewah di luar lingkungan pendidikan.
"Kegiatan wisuda/perpisahan pada SMA dan SMK bukan sebagai kegiatan yang bersifat wajib. Dihimbau untuk dilaksanakan secara sederhana dan khidmat dengan memaksimalkan fasilitas sekolah," tegas Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Sumsel, Zulkarnain, dalam keterangannya di Palembang pada Senin (28/4).
Surat edaran bernomor 420/6974/SMA.2/Disdik.SS/2025 ini bukan lahir tanpa sebab.
Disdik Sumsel bergerak berdasarkan landasan hukum yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah serta Surat Edaran Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023.
Baca Juga:Pria Disabilitas di Lubuklinggau Tega Rudapaksa Bocah 11 Tahun, Modusnya Bikin Merinding
Kedua regulasi ini memberikan rambu-rambu yang jelas terkait penyelenggaraan kegiatan perpisahan di semua jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK).
Mengurai Tradisi, Menantang Kebiasaan
Keputusan untuk "tidak mewajibkan" namun tetap "memperbolehkan" dengan catatan kesederhanaan ini memunculkan sebuah paradoks menarik.
Di satu sisi, Disdik Sumsel mengakui nilai sentimental perpisahan bagi siswa dan orang tua. Momen ini seringkali dianggap sebagai puncak dari perjuangan belajar selama bertahun-tahun, sebuah perayaan atas pencapaian yang patut dikenang.
Namun, di sisi lain, realitas di lapangan seringkali menunjukkan bahwa "kesederhanaan" hanyalah sebuah wacana.
Acara perpisahan kerap bertransformasi menjadi ajang unjuk kemewahan, dengan biaya yang tidak sedikit dan berpotensi memberatkan sebagian orang tua.
"Kita memahami betul, bagi sebagian besar siswa dan orang tua, perpisahan ini memiliki makna emosional yang mendalam. Namun, kita juga harus realistis. Terkadang, meskipun imbauan kesederhanaan sudah disampaikan, pelaksanaannya di lapangan justru sebaliknya," ungkap Zulkarnain, menyiratkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Benang Tipis Pengawasan dan Inisiatif
Tantangan krusial lainnya adalah soal pengawasan. Surat edaran Disdik Sumsel melarang keras adanya pungutan oleh pihak sekolah terkait acara perpisahan.
Kepanitiaan pun idealnya dikelola sepenuhnya oleh komite sekolah dan perwakilan orang tua. Namun, di sinilah letak kerawanan.
Batasan antara inisiatif murni dari orang tua dan adanya "arahan halus" atau bahkan tekanan dari pihak tertentu bisa menjadi sangat tipis dan sulit dideteksi.
Disdik Sumsel menyadari betul potensi masalah ini.
Karena itu, penegasan kembali disampaikan: "Apabila dalam proses persiapan pelaksanaan kegiatan perpisahan/pelepasan murid berpotensi menimbulkan gejolak dan permasalahan, maka kepala sekolah wajib segera menyesuaikan atau bahkan membatalkan kegiatan tersebut," Zulkarnain memperingatkan.
Suara dari Lapangan: Antara Harapan dan Realita Ekonomi
Di berbagai SMA di Palembang, geliat persiapan perpisahan mulai terasa.
Rapat-rapat kecil antar orang tua digelar, mencoba mencari titik temu antara keinginan anak-anak untuk memiliki kenangan indah dan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga.
"Anak-anak sudah tiga tahun berjuang, tentu mereka ingin ada momen spesial. Tapi kami juga sadar, kondisi keuangan setiap orang tua itu berbeda-beda. Ada yang mampu menyewa gedung mewah, ada yang untuk makan sehari-hari saja pas-pasan," ujar Lusi, seorang ibu siswa kelas XII dengan nada prihatin.
Namun, kebijakan Disdik Sumsel ini juga disambut dengan kelegaan oleh sebagian tenaga pendidik.
Beban moral dan tekanan untuk terlibat dalam kepanitiaan acara perpisahan yang terkadang "berubah haluan" menjadi pesta mewah kini sedikit terangkat.
"Dengan adanya aturan ini, kami sebagai guru dan kepala sekolah bisa lebih fokus pada tugas utama, yaitu kegiatan belajar mengajar. Tidak lagi disibukkan dengan urusan iuran atau detail teknis acara perpisahan," ungkap Dian, seorang guru di SMA negeri di Palembang.
Refleksi Makna: Sederhana Bukan Berarti Tanpa Kenangan
Surat edaran Disdik Sumsel ini seolah menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa esensi dari perpisahan sekolah bukanlah terletak pada kemewahan acara, melainkan pada nilai penghargaan terhadap perjalanan belajar yang telah dilalui bersama.
Di tengah arus modernitas dan gemerlap media sosial yang seringkali mendikte standar "meriah", Disdik Sumsel mencoba mengembalikan makna perpisahan ke akarnya: sebuah momen yang khidmat, penuh kebersamaan, dan tidak memberatkan secara finansial.
Bagaimana implementasi kebijakan ini di lapangan nantinya?
Akankah tradisi perpisahan mewah perlahan memudar, digantikan oleh acara yang lebih sederhana namun tetap berkesan?
Jawabannya akan sangat bergantung pada kesadaran dan kerja sama semua pihak – sekolah, siswa, dan terutama orang tua – untuk memahami dan mengamalkan semangat dari surat edaran ini.
Sederhana bukan berarti tanpa kenangan, justru di sana lah esensi kebersamaan dan rasa syukur atas ilmu yang didapatkan dapat lebih terasa.