SuaraSumsel.id - Pemerintah telah menerbitkan PP nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Pasir Laut pada medio Mei 2023 lalu. Sekilas PP ini menjadi solusi lingkungan terkait menumpuknya sedimen pasir di perairan Indonesia, seperti di Perairan Kepulauan Bangka Belitung.
Tapi berdasarkan kajian Walhi, PP tersebut justru mendorong kian maraknya aktifitas penambangan di perairan Kepulauan Bangka Belitung.
"Dapat dibayangkan hadirnya ratusan hingga ribuan kapal isap di perairan Kepulauan Bangka Belitung,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Jessix Amundian kepada Suara.com belum lama ini.
Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas mencapai 8,1 juta hektar (ha) dengan sekitar 6,5 juta ha merupakan perairan. Kepulauan yang berusia sekitar 250 juta tahun yang terdiri 948 pulau kecil serta dua pulau besar ialah bagian tin belt Asia Tenggara.
Baca Juga:Kabar Baik Wong Palembang, Naik LRT Sumsel Besok Gratis
Di daratan dan perairan di Kepulauan Bangka Belitung kaya dengan timah. Kekayaan mineral ini membuat Kepulauan Bangka Belitung dieksploitasi, sejak ratusan tahun lalu.
Setelah Reformasi 1998, penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung kian massif. Penambangan timah ini dilakukan bukan hanya di darat, juga di perairan, baik dilakukan perusahaan maupun masyarakat.
Aktifitas penambangan timah di perairan (laut) telah membuat berbagai kerusakan lingkungan hidup dan social diantaranya masyarakat lokal atau masyarakat adat.
“Dari sejumlah aktifitas penambangan timah di perairan, menimbulkan sejumlah konflik antara penambang timah dengan masyarakat lokal (adat). Akibatnya, sekitar 480 ribu masyarakat adat di wilayah pesisir, kehilangan atau menurun pendapatannya dari hasil tangkapan perairan,” ujarnya.
Penambangan timah dilakukan dengan berbagai cara mulai dari kapal keruk, kapal isap, ponton isap, hingga rajuk.
Baca Juga:Layanan BRI Mempermudah Produk UMKM Sumsel ke Pelosok Negeri
Berdasarkan data KLHS [Kajian Lingkungan Hidup Strategis] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2013, terdapat 68 kapal isap produksi (KIP) milik PT. Timah dan 6 milik swasta, serta ribuan tambang apung yang mengelilingi Pulau Bangka.
Aktifitas penambangan timah di perairan ini menyisakan tailing. Diperkirakan jutaan ton tailing yang mengendap di daratan dan dasar perairan Kepulauan Bangka Belitung.
Beberapa tahun terakhir, muncul informasi jika tailing dari penambangan timah terdapat mineral ikutan yang disebut rare earth, yang selama ini belum termanfaatkan.
“Rare earth berguna bagi teknologi komunikasi, penerbangan, energi, otomotif, kesehatan, hingga pertahanan. Diduga pada jutaan ton tailing yang mengendap di dasar perairan terdapat rare earth,” ujarnya.
Selain itu, pasir yang berada di dasar perairan di Kepulauan Bangka Belitung, belum semuanya dieksplorasi timahnya. Pasir ini diduga mengandung timah dan rare earth.
Kepulauan Bangka Belitung terbentuk dari batuan granit yang berusia ratusan juta tahun. Batuan granit ini mengalami pelapukan selama ribuan tahun, yang menghasilkan beragam mineral (non logam dan logam). Timah merupakan salah satu mineral dari pelapukan ini .
“Secara alami hasil pelapukan mengalir ke wilayah rendah, seperti sungai dan rawa, termasuk ke wilayah pesisir dan laut,” sambungnya.
Selain itu, ancaman eksploitasi timah di perairan Kepulauan Bangka Belitung menyebabkan puluhan ribu hektar terumbu karang mengalami kerusakan atau mati.
Berdasarkan analisis citra tahun 2017, terumbu karang yang sebelumnya seluas 82.259,84 hektar (2015), tersisa 12.474,54 hektar. Sekitar 5.720,31 hektar terumbu karang mati.
Rusaknya terumbu karang menyebabkan hilang atau terganggunya keberagaman hayati di perairan, seperti biota dan mamalia laut. Misalnya kematian pesut dan dugong.
“Selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektar mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan, tersisa 33.224,83 hektar [12]. Tahun 1993, luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung 273.692,81 hektar,” katanya
Di bidang sosial dan budaya, dampak penambangan timah di wilayah perairan juga menyebabkan perubahan sosial dan budaya.
Misalnya rusaknya lokasi ritual sedekah laut suku melayu di Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. Munculnya, fenomena ngereman (meminta jatah pasir timah dari penambang) yang dilakukan perempuan dan anak-anak.
Ribuan anak usia sekolah (SD dan SMP) putus sekolah dikarenakan terlibat dalam aktivitas pertambangan timah. Misalnya, tahun 2020 (61 anak sekolah dasar), tahun 2021 (193 anak sekolah dasar), sementara anak SMP atau sederajat yang putus sekolah sebanyak 37 (2020), 197 (2021), serta serangan penyakit kulit malaria, dan krisis air bersih.
Kerusakan terumbu karang dan mangrove menyebabkan hilangnya benteng daratan di Kepulauan Bangka Belitung sehingga berulang terjadi banjir, intrusi air laut, abrasi, serta kerusakan akibat puting beliung.
Terakhir tahun 2017, sekitar 1.530 jiwa terdampak banjir di Pulau Belitung dan di Kabupaten Bangka Barat sekitar 1.947 jiwa yang tersebar di 7 desa terdampak banjir .
Berdasarkan Kajian Bencana Kepulauan Bangka Belitung 2016-2020 yang dikeluarkan BNPB, terdapat potensi luas bahaya gelombang ekstrim dan abrasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan total luas bahaya mencapai 42.245 hektar.
Potensi kerugian fisik mencapai 2,6 miliar rupiah; kerugian ekonomi 8,31 miliar rupiah; kerusakan lingkungan mencapai 13.477,00 hektar; serta 53.663 jiwa berpotensi terpapar bahaya gelombang ekstrim dan abrasi
Puluhan korban jiwa dari aktivitas tambang di laut. Terakhir tahun 2022 dan 2023, tiga penambang tewas di perairan Bangka Selatan dan Perairan Matras.
Aktifitas tambang ini tentunya menambah laju kerusakan perairan, yang berdampak, yakni kian terancamnya ruang hidup masyarakat lokal (adat) di 160 desa yang berada di wilayah pesisir.
Selain itu, juga menyebabkan makin rusaknya terumbu karang. Kerusakan mangrove di pesisir, hilangnya tradisi masyarakat lokal, serta persoalan sosial seperti meningkatnya generasi muda yang putus sekolah, fenomena ngereman, dan lainnya.
"Potensi bencana banjir, puting beliung, abrasi dan intrusi air laut di Kepulauan Bangka Belitung. Potensi bertambahnya angka korban jiwa yang disebabkan aktivitas pertambangan di perairan Kepulauan Bangka Belitung serta potensi hilangnya kekayaan negara dari rare earth, yang saat ini sangat dibutuhkan dalam teknologi komunikasi, penerbangan, energi, otomotif, kesehatan, hingga pertahann,” ujarnya menjelaskan.
Sehingga Walhi Kepulauan Bangka Belitung menegaskan PP tersebut menjadi ancaman baru bagi bencana ekologis, “Sehingga kami menyatakan menolak dan menuntut pencabutan PP Nomor 26 Tahun 202,” tegas ia.