Setelah menerima laporan para korban, polisi pun melakukan pemeriksaan mendalam (penyidikan). Proses penyidikan pertama dilakukan pada Dosen Adhitya Rol Asmi, M.Pd, pada Senin (6/12/2021).
Pemeriksaan dilakukan setelah Unit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel memeriksa korban, saksi dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
![Tersangka AR, dosen Unsri, menutupi mukanya menggunakan jaket ketika digiring keluar dari ruang penyidikan di Mapolda Sumsel, Senin (6/12/2021). [ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/12/10/90228-dosen-unsri-tersangka-pelecehan-seksual-terhadap-mahasiswi.jpg)
Penahanan dilakukan setelah polisi menilai pelaporan telah memenuhi unsur tindak pidana.
Dosen Adhitya Rol Asmi yang pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium FKIP Sejarah ini dijerat pasal 289 atau 294 ayat 2 point 1, dengan ancaman 7 hingga 9 tahun kurungan penjara.
Baca Juga:Kalahkan Persimura, PS Palembang Mulus Melaju Empat Besar Liga 3 Sumsel
Menyusul dosen Adhitya Rol Asmi, dosen Reza Ghasarma yang dilaporkan oleh tiga mahasiswi pun ditahan oleh Unit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel, Jumat (11/12/2021).
Penahanan dilakukan setelah polisi mendapatkan bukti kuat, jika nomor ponsel yang dilaporkan korban adalah milik pelaku. “Penelusuran nomor ponsel ke provider, hingga mengetahui rekam jejak digital atas nomor ponsel bersangkutan. Polisi melakukan penahanan 20 hari ke depan,” ujar Dirkrimum Polda Sumsel, Kombes Pol Hisar Siallagan, Jumat (11/12/2021).
Meski membatah, sambung Hisar, polisi sudah mempunyai bukti kuat guna menjerat pelaku dosen ini dengan ancaman Pasal 9 Junto 35 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008, tentang Pornografi, dengan ancaman hukuman 11 tahun penjara.
Penahanan dua dosen ini pun mendapatkan apresiasi publik, terutama kalangan alumni Unsri.
Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es
Baca Juga:Masyarakat 3 Kabupaten di Sumsel Tidak Patuh Pakai Masker Selama Pandemi COVID-19
Kasus kekerasan seksual di kampus, seperti halnya yang terjadi di Unsri ini ibarat fenomena gunung es. Fenomena yang baru sedikit terungkap di permukaan dan dipastikan bakal lebih banyak ditemukan yang belum terungkap.
Banyak korban yang memilih tidak melaporkan peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual tersebut. Penyebabnya karena banyak alasan, di antaranya relasi hubungan kuasa yang kuat atau tidak imbang antar pelaku dan korban.
Selain itu itu, proses hukum yang panjang sekaligus tekanan sosial atas nama menjaga nama baik institusi atau lembaga.
"Jika di lembaga pendidikan ini, tidak adanya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang melindungi korban, terutama kerahasiaan dan keamanan korban," ujar Ketua Dewan Pengurus WCC Palembang, Yeni Roslaini Izzi.
Yenni pun berpendapat, masih kuat budaya patriarki termasuk di Sumsel yang membuat budaya victim bliming, kepada korban yang melaporkan peristiwa tersebut.
![5) Ilustrasi pelecehan seksual di kampus. [Suara.com/Rochmat]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/12/13/77716-ilustrasi-kasus-pelecehan-seksual-di-kampus.jpg)
Pada kasus mahasiswi Unsri, Yenni menambahkan saat para korban telah berani mengungkapkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami, pihak Rektorat malah terkesan melindungi pelaku.