Berhasil Menghukum Pelaku Karhutla, Rp 3,4 Triliun Denda Belum Masuk Kas Negara

Pemerintah berhasil menghukum perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan, namun sayangnya meski sudah dijatuhi denda, upaya menagihan denda masih terhutang.

Tasmalinda
Minggu, 27 Juni 2021 | 12:26 WIB
Berhasil Menghukum Pelaku Karhutla, Rp 3,4 Triliun Denda Belum Masuk Kas Negara
Karhutla di Siak Senin (8/3/2021). [Suara.com/Alfat Handri] Pemerintah berhasil menghukum pelaku karhutla, Rp 3,4 Triliun denda belum masuk kas negara.

SuaraSumsel.id - Upaya penegakkan hukum terhadap pelaku karhutla atau kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Lingkungan Hidup atau Kehutanan (KLHK). Para pelaku karhutla ini pun telah berhasil diseret ke pengadilan melalui gugatan kasus pengrusakan lingkungan akibat karhutla.

Gugatan yang disampaikan melalui jalur persidangan ini pun telah menghukum para perusahaan perusak lingkungan dengan membayar sanksi denda atau ganti rugi mencapai Rp 3,5 triliun. Nilai ini dihasilkan dari perhitungan kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan perusahaan tersebut.

Sayangnya dalam kurun waktu enam tahun terakhir, negara baru berhasil mengumpulkan Rp 78,5 miliar pembayaran denda ganti rugi kerusakan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, masih sekitar Rp 3,4 triliun pembayaran denda atau ganti rugi perusahaan perusak lingkungan yang belum masuk ke kas negara. 

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Penegakan Hukum Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan jika terdapat upaya penelusuran aset-aset perusahaan yang terbukti merusak lingkungan ini.
 
Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Yazid Hurhuda mengungkapkan, proses eksekusi denda dari perusahaan pelaku karhutla masih terkendala teknis di lapangan maupun birokrasi, di mana wewenang eksekusi sepenuhnya ada di tangan pengadilan.
 
“Dalam gugatan perdata, kami (KHK) Legal standing-nya sebagai penggugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat karhutla. Ada gugatan tersebut yang menang dan inkracht, tapi eksekusi keputusan menjadi wewenang, Ketua Pengadilan pada kasus yang diperkarakan. Kami memohon dieksekusi, mendorong dan menghadap ketua Pengadilan Negeri. Tapi banyak pertimbangan dan permasalahan teknis di lapangan,” ungkap Yazid dalam Wokshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum”  yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (26/6/2021).
 
Dalam penegakkan hukum pelaku karhutla data KLHK menyebutkan, Gakkum KLHK berhasil mencabut 3 izin operasional perusahaan, pembekuan 16 izin, 91 sanksi berupa paksaan perintah, menerbitkan 633 surat peringatan dan 743 sanksi administratif.
 
Sedangkan pada pengawasan dilakukan terhadap 638 perusahaan dan indvidu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia.
 
Tercatat 11 kasus karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, 3 masih P-21 dan 5 perusahaan dalam proses sidik.
 
Yazid menjelaskan salah satu kendala yang dihadapi yakni menghitung aset dari perusahaan pelaku karhutla yang digugat. Pihaknya kesulitan mengajukan penyitaan aset sebagai alat pemenuhan bukti guna memenangkan gugatan.
 
“Praktik di lapangan tidak mudah. Waktu itu yang penting kita gugat dulu dan menang dulu. Begitu menang dan mengajukan eksekusi, dipertanyakan asetnya. Karena itu kita sekarang dalam proses menelusuri aset agar bisa diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi,” imbuhnya.
 
Selain itu, kendala guna menyita aset perusahaan perusak lingkungan ialah intervensi dan perlawanan fisik dan psikis,  KLHK digugat pra peradilan, dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, hingga penyidik dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka.
 
Yazid mencontohkan dalam kasus karhutla di Aceh.  Pihaknya mendapat perlawanan saat datang untuk menghitung harga kebun sawit.
 
“Kita dihadapkan pada warga atau pekerja kebun dan akhirnya diperintahkan mundur demi keselamatan. Personil terbatas, jadi selain berbahaya juga untuk menghindari konflik,” akunya.
 
Sementara Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo mengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian. Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.
 
“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya. Apakah itu ketidaksengajaan atau by design  (Disengaja). Bagaimana mungkin bisa menghitung ribuan hektare lahan terbakar dalam waktu satu hari, tahu di mana titik awal lokasi terbakar dan siapa pelakunya. Teknologi juga sangat membantu dalam pembuktian,” kata ahli karhutla IPB ini.
 
Banyak kasus berhasil dibuktikan, seperti kasus karhutla yang melibatkan perusahaan sawit Wilmar Nabati Indonesia di Kalimantan Barat yang terbukti melakukan pembakaran lahan hingga bantuan pembiayaan dari Bank Dunia untuk perusahaan ini dicabut.
 
Fakta yang sama diungkap analisis Greenpeace Asia Tenggara yang menemukan data pada 2015 – 2019, terdapat 4,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia dan sekitar 789.600 hektar (18 persen) ialah kebarakan yang berulang pada lokasi yang sama.
 
Seluas 1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp). Bahkan, karhutla tahunan terburuk sejak 2015  membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.

Baca Juga:Potensi Awan Hujan Berkurang, Teknologi Modifikasi Cuaca di Sumsel Disetop

Data analisis jejak kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir, berada di tujuh provinsi rawan kebakaran hutan yakni Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Global Project Leader of Indonesia Forest Campaign di Greenpeace Southeast Asia, Kiki Taufik menyebutkan sebanyak 258 sanksi administratif diterbitkan, dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata. Sebanyak 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi belum menerima sanksi apapun. 
 
“Kenapa kebakaran berulang terus terjadi. Dari 1,6 juta ha, 600 ribu ha lahan kebakaran berulang di lokasi yang sama  meski pemerintah punya komimen kuat. Misalnya, total kebakaran lahan konsesi Sinarmas Grup  dalam lima tahun mencapai 283 ribu ha. Tahun 2019 terbakar 73 ribu ha. Kebakaran hingga  11% dari luas lahan. Bagaimana praktik di lapangan dan kenapa tidak ada efek jera,“ ungkap Kiki.
 
Yang menarik menurut Kiki, wilayah yang terbakar pertama kali diindikasikan akan jadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Dalam workshop tersebut, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Rochimawati, menekankan pentingnya media mengangkat dan mengawal isu kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukumnya. 

“Jurnalis dan media mempunyai peran besar untuk mengangkat Isu ini mengingat selama ini monitoring kasus karhutla masih lemah. Upaya menekan kasus karhutla dapat terus mendapat perhatian penegak hukum, perusahaan, pemerintah dan masyarakat apabila terus disuarakan dan mendapat perhatian. Apalagi di tengah kondisi pandemi ini,” jelasnya.

Dalam laporan Bank Dunia, total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2019 mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5 % Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
 

Baca Juga:Akhir Juni, Sumsel Terima Tambahan 208.700 Dosis Vaksin COVID-19

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini