SuaraSumsel.id - Peta-peta ini memperlihatkan titik panas yang muncul di tiga kabupaten, yakni Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin dan Muaraenim.
Sebagai tiga kabupaten penyulut api kebakaran di tahun 2015, kebakaran berulang terjadi di 2019.
Kebakaran lahan pun masih terjadi di lahan konsensi perusahaan hutan tanaman industri (HTI)
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang merupakan kabupaten dengan luasan lahan terbesar, nampak kebakaran kembali terjadi di lahan konsensi hutan tanaman industri (HTI). Warna coklat memperlihatkan kebakaran lahan yang terjadi di tahun 2015, sedangkan warna coklat muda memperlihatkan kebakaran di 2019.
Baca Juga:Jejak Penyulut Api Karhutla di Sumsel, Siapa Bertanggungjawab? (1)
Di mana warna coklat muda masih menumpuk di warna coklat gelap. Bisa diartikan, jika titik panas terus bermunculan di wilayah tersebut.
Sementara, warna hijau gelap ialah luasan lahan konsesi perusahaan sedangkan warna hijau muda ialah lahan gambut.
Dari pemetaan ini juga nampak, jika kebakaran pada tahun 2019 juga menumpuk pada lahan gambut yang terbeban izin konsesi perusahaan.
Bagitu juga di Kabupaten Musi Banyuasin. Kebakaran lahan banyak terjadi di lahan gambut yang diperlihatkan dengan warna hijau muda.
Di tahun 2015, munculnya titik panas berasal dari lahan konsesi perusahaan yang diperlihatkan dengan warna hijau tua, sedangkan pada kebakaran lahan di tahun 2019, diperlihatkan lebih banyak berasal dari lahan gambut.
Baca Juga:Disdik Sumsel; Belajar Tatap Muka Diperbolehkan Bukan Diwajibkan
Sementara di Muaraenim, kebakaran terlihat di wilayah konsensi. Di Kabupaten ini, tidak terlalu dipadati oleh lahan gambut. Sedangkan di tahun 2019, kebakaran lahan cenderung menyebar di luar lahan konsesi perusahaan, namun masih juga ditemukan titik panas di lahan konsesi.
Udaranya lebih sejuk tahun ini, tidak seperti tahun lalu, apalagi tahun 2015 lalu. Masyarakat desa pun berkeinginan agar kebakaran lahan dan hutan tidak terulang seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Air rawa masih tinggi di bulan September ini, tidak banyak terdengar kebakaran besar di lahan perusahaan BMH dan perusahaan lainnya,” ujar Tokoh Masyarakat Jerambah Rengas, Muhammad Syukrie di awal bulan Oktober lalu.
Desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir ini menjadi salah satu pencatat bencana kebakaran Sumatera Selatan.
Desa di Kecamatan Pangkalan Lampan ini diapit lahan konsesi perusahaan, baik sawit maupun hutan tanaman industri dan kerap terdampak akibat kebakaran tersebut.
Menurut Syukrie, pada tahun ini kebakaran hutan dan lahan tidak seperti tahun 2019 apalagi 2015.
Pada medio Agustus, titik panas sempat membara di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan namun Camat Tulung Selapan, Jemi menceritakan kebakaran lebih banyak pada lahan tidak produktif.
Kebakaran 2019 dengan musim kemarau lebih panjang menjadi pengalaman di Tulung Selapan.
“Sekarang ini, justru pada lahan-lahan yang tidak produktif. Tidak diusahakan, tidak terpantau aktif tapi di tahun ini jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun lalu,” ungkapnya.
Berdasarkan data HaKI Sumatera Selatan pada tahun ini, terjadi titik panas yang tidak begitu signifikan.
Sejumlah perusahaan juga menyulut api kebakaran hutan dan lahan seperti tahun-tahun sebelumnya hanya saja tingkat kepercayaan titik panas kurang dari 75%, atau membutuhkan analisis lebih lanjut mengenai kebakaran tersebut.
Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan tahun 2019, di mana titik api kembali muncul di lahan konsensi yang pada tahun 2015 juga terbakar.
Berdasarkan data HaKI sampai dengan 5 November 2019, PT. BMH kembali menjadi penyumbang titik panas
dengan luasan yang terbakar terluas pada tahun 2019.
“Lima dari 10 peringkat perusahaan yang terbakar tahun 2019, ialah Hutan Tanaman Industri yang berafiliasi dengan Asia Pulp and Paper (APP) – Sinar Mas berlokasi di Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, dengan luasan yang terbakar 32.991 ha,” ungkap Direktur Eksekutif HaKI, Aidil Fitri dalam keterangan persnya akhir tahun lalu.
Menurut Aidil, kebakaran pada tahun 2019 seperti mengulang kebakaran di tahun 2015, di tahun 2014 dan di tahun 1997, yakni paling luas terjadi di lahan gambut.
Pada tahun 2015, luas gambut terbakar mencapai 410.962 hektare atau 50% lebih dari total luas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada IUPHHK- Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang mencapai seluas 214.444 hektar.
“Pada tahun 2016, BMH didenda sebesar Rp 78 miliar. Lahan perusahaan berulang terjadi yakni BMH seluas 22.311 ha, BAP 1.216 ha, SBA 3.876 ha dan RHM 3.540 ha dengan 40,07% dari luas terbakar tersebut terindikasi sebagai gambut,” ungkap Aidil.
Sementara Greenpeace membeberkan data jika PT. BMH dari tahun 2015 hingga 2019 mengalami kebakaran pada 87.600 hektar lahannya yang seluas 40.400 ha terjadi pada tahun 2109.
Dengan kata lain, pada tahun lalu, mencapai hampir 46% areal terbakar itu terulang dari tahun 2015. Luasan areal yang terbakar ini lebih luas dari negara Singapura.
Greenpeace pun menyebut terdapat dua sanksi pada perusahaan ini, di antaranya yakni pembekuan sanksi sementara pada tahun 2015.
Lembaga ini pun menekankan terjadinya perubahan stuktur tanah gambut sebagai praktik umum saat membuka lahan guna ditanami akasia.
“Menurut analisis Greenpeace setidaknya 2.110 ha lahan gambut terbuka sepanjang tiga tahun terakhir. Praktik umum, sebelum menanam akasia yang membuat gambut menjadi terbuka,“tulisnya.
Meski diketahui beberapa perusahaan hutan ini terbakar, Pemerintah melalui KLHK pun tidak keras memberikan teguran.
Sebut saja saat KLHK menggelar aksi segel lahan perkebunan dan kehutanan penyulut terjadinya titik panas.
Beberapa perusahaan yang disegel PT. DGS, PT MBJ, dan PT. WAG yang berada di Ogan Komering Ilir.
Tapi ada juga perusahaan penyulut api yang asetnya tidak disegel.
Misalnya lahan milik PT. LPI yang berada di Ogan Komering Ulu yang merupakan perusahaan sawit dan PT. Tian dan PT. DIL yang beroperasi di Musi Rawas.
Tidak satupun perusahaan kehutanan yang berdasarkan hasil pengawasan titik panas HaKI yang pemerintah segel.
Di sisi lain, kewenangan hukum yang dimiliki Kepolisian Daerah Sumatera Selatan juga tidak sama kerasnya kepada pelaku kebakaran lahan.
Pada tahun 2019, Polda Sumatera Selatan hanya memproses satu perusahaan di Musi Banyuasin yang mengalami kebakaran lahan tanaman sawit.
Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru saat memimpin kesiapsiagaan karhutla menyatakan upaya pencegahan lebih berbiaya murah ketimbang pengendalian kebakaran hutan. Pengalaman lima tahun terakhir mengajarkan banyak pelajaran, terutama bagaimana menjaga lahan gambut tetap basah.
Pada tahun 2020, dengan kondisi iklim kemarau yang lebih basah mengakibatkan pengendalian karhutla lebih mudah dilaksanakan, misalnya sudah melakukan modifikasi cuaca agar terjadinya hujan.
“Dengan status siaga karhutla lebih cepat, maka operasi pencegahan juga banyak didukung. Meski begitu, peran serta masyarakat dan perusahaan menjaga lahannya. Utamakan pencegahan sebelum api muncul itu, lebih baik,” ujarnya belum lama ini.
Penulis pun berusaha mengkonfirmasikan pada PT. BMH, melalui lembaga Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Sumatera Selatan, namun tidak berhasil.
APHI Sumatera Selatan hanya berkenan menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan kebakaran hutan dan lahan di areal hutan kayu akasia secara umum.
Komisaris Daerah APHI Sumatera Selatan, Iwan Setiawan menyatakan upaya pencegahan karhutla pada tanaman hutan merujuk pada Permen LHK 32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 mengenai pengendalian kebakaran dengan standar sarana dan prasarana pengendalian.
Pemilik konsesi baik di hutan alam, hutan tanaman maupun restorasi ekosistem yang mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan wajib mempersiapkan sarana pencegahan, sarana keteknikan pencegahan terdiri atas sekat bakar buatan, jalur hijau dan embung atau kantong air.
Lalu sarana pengolahan kanal pada gambut, terdiri atas peralatan hidrologi sederhana, sekat kanal dan pintu air.
Sedangkan sarana posko krisis penanganan kebakaran hutan dan lahan, sekurang-kurangnya sama dengan sarana posko krisis penanganan kebakaran hutan dan lahan.
“Sarana peringatan dini, kebakaran hutan dan lahan atas peta rawan kebakaran atau sejenis peta kerja, peta database sumber daya pengendalian, dan perangkat pendukung lainnya,”ujar ia.
“Untuk deteksi dini, perlu menara pengawas, sensor panas, mengolah data informasi hotspot, pesawat terbang dan sejenis alat yang bisa menyebarluaskan informasi secara dini,” terang ia.
Upaya pencegahan dan pengendalian hendaknya kolaboratif dan terkomando antar pemerintah daerah dan satuan tugas pengendalian.
Dari APHI Sumsel sendiri menyatakan pencegahan dan pelibatan masyarakat guna membentuk masyarakat peduli api, desa makmur peduli api yang dicontohkan perusahaan yang terafiliasi dengan OKI Mill Pulp and Paper.
Selama ini, APHI merasa sudah cukup memadai namun masih akan berinovasi lagi.
“Saya pikir, khusus perbaikan tata kelola gambut, pemegang izin HTI telah melakukan desain ulang kerja. Mensosialisasikan lahan tanpa bakar, termasuk dengan beberapa program bersama masyarakat,” ucapnya.
Iwan pun mengungkapkan iklim berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.
Dalam konteks pengelolaan lahan gambut, kondisi curah hujan yang tinggi akan membantu menjaga gambut tetap basah sekaligus mengurangi resiko kebakaran dibandingkan cuaca kering.
“Pada lahan gambut, pH rendah diperlukan pengaturan tinggi muka air, agar tanaman masih bisa hidup dengan pertumbuhan optimal. Karena gambut merupakan sumber bahan organik yang mudah terbakar saat kondisi kering,” terang ia.
Ia pun berpendapat pemegang izin HTI tidak mungkin melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Mengingat, tanaman hutan ialah pasokan bahan baku industri kehutanan dengan orientasi ekspor.
“Secara prinsip, pembukaan lahan dengan cara membakar sangatlah tidak realistis, karena biaya penyiapan lahan hanya sekitar 10% dari total biaya pembangunan HTI dibandingkan dampaknya, serta pemegang izin juga memahami sanksi hukum baik perdata maupun pidana,” terang ia.
Terhadap sanksi yang selama ini diberikan pemerintah, Iwan mengatakan APHI setuju jika perusahaan yang lalai mendapatkan hukuman namun harus melalui pembuktian investigasi objektif,
“Sanksi juga diharapkan berlaku umum dan setara dengan penanggungjawab areal hutan lainnya,” katanya.
Banyak kebakaran lahan yang terjadi akibat kelalaian pihak lain, namun apabila kebakaran besar maka seluruh bentang lahan akan terkena imbasnya.
“Jika perusahaan selama ini sudah baik menerapkan dan melaksanakan tugas karhutla seperti yang digariskan pada Permen LHK nomor P 32/2016, maka selayaknya perusahaan tersebut terlepas dari tuduhan kelalaian, karena dipastikan kebakaran yang terjadi berasal dari luar areal, di luar kendali perusahaan,” pungkasnya.
Sampai tulisan ini diturunkan, pihak KLHK juga belum merespons draf pertanyaan yang diajukan penulis.
Humas KLHK, Nunu Nugraha tidak merespon pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan penulis secara tertulis.
-----