Sedangkan 4 persen mahasiswi pernah mendapatkan pemaksaaan dan intimidasi seksual dari oknum dosen.
“Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan fakta sebenarnya karena masih banyak korban yang belum berani bersuara dan melaporkan kasusnya karena kampus belum menjamin kemerdekaan dan keamanan bagi korban untuk berani bersuara dan melaporkan kasusnya,” terang ia.
Melalui penyebaran kuisioner diketahui bahwa sebanyak 71,2 persen responden mengaku bahwa kampus belum menyediakan pembelajaran yang aman bagi perempuan, seperti belum adanya toilet yang aman, penerangan yang cukup atau belum didukung SOP tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Perempuan jurnalis pun kerap menjadi sasaran kekerasan seksual ketika sedang bekerja. Perusahaan media tidak memiliki SOP yang menjamin perempuan jurnalis aman dari tindakan kekerasan seksual, melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya dan memastikan perusahaan media dan lembaga terkait lainnya melakukan proses terhadap laporan tersebut” tegas ia.
Baca Juga:Sebut KLB Bodong, DPD Partai Demokrat Sumsel Sepakat Dukung AHY
Di tengah itu semua, terdapat kelompok perempuan disabilitas yang juga harus mengalami persoalan yang berlipat dimasa pandemi.

Perempuan disabilitas semakin rentan bahkan berpotensi mengalami kekerasan berkali lipat lebih besar.
Di sisi lain, stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV/ODHA, pekerja seks, dan disabilitas terus dirasakan.
Kehilangan akses pada pekerjaan, mendapatkan kesulitan ketika mengakses layanan publik, dan menjadi sasaran empuk oknum pengada layanan publik Pemerintah bertujuan untuk mengambil keuntungan dari upaya komunitas ini untuk mengakses layanan publik.
Bagi perempuan migran, pandemik merupakan penderitaan yang bertambah berkali lipat.
Baca Juga:Dihadiri Para Mantan Kader, DPD Partai Demokrat Sumsel Tolak KLB
Tercatat sebanyak 32.192 buruh migran kehilangan pekerjaan dan dipulangkan ke tanah air.