Amar Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan itu dinilai Hadi Jatmiko keputusan yang tanggung.
Sebab, tuntutan pemerintah untuk bisa menyita aset atau menyudahi usaha konsesi perkebunan tidak dikabulkan majelis hakim.
“Misalnya, menyita aset PT. BMH yang diketahui berupa tanaman produksi atau bangunan kantor dan lainnya,” ujar ia.
Pada poin analisis hukum lainnya, ia juga mengevaluasi ada tidaknya jaminan jika tergugat ingkar membayar kewajibannya dan upaya pemerintah untuk mengikat pihak tergugat yang lahan konsesinya rutin terbakar.
Baca Juga: Kesedihan Keluarga Serang Speedboat yang Hilang: Ia Biasanya Cepat Pulang
Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada, Agung Wardana menjelaskan eksekusi hukum atas keputusan pengadilan atas perkara karhutla memang masih bermasalah.
Pertama, setelah keputusan hukum tetap yang berwenang mengeksekusi adalah pengadilan.
Akan tetapi pengadilan akan meminta KLHK menyampaikan data mengenai aset perusahaan yang akan dieksekusi.
“Untuk itu, KLHK harus meminta data dari perusahaan, PPATK untuk transaksi keuangannya dan BPN untuk data HGU. Masalahnya berlarut, apabila perusahaan malah tidak korporatif memberikan data,” katanya dihubungi Suara.com, Senin (10/11/2020).
Menurut ia, pemerintah dalam hal ini KLHK, BPN dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus berkoordinasi.
Baca Juga: Berencana Liburan di Akhir Tahun? Tiket Kereta Api Sudah Bisa Dipesan Lho
Kekhawatiran lain, ialah rendahnya nilai ganti rugi karena perusahaan menurunkan nilai aset yang dimiliki, saat pemerintah ingin mengantongi data aset perusahaan.
“Bisa jadi dalihnya malah keringanan jumlah yang harus dibayarkan atau pembayaran dicicil,” sambung dia.
Karena itu, tambah Agung, Presiden harus bisa memastikan kementerian terkait untuk bisa berkoordinasi dalam pengumpulan data aset perusahaan.
Menurutnya, untuk kasus karhutla semestinya, KLHK menggunakan jalur pidana yang digabung dengan gugatan perdata agar proses eksekusi bisa berjalan bersamaan.
Penggabungan dua jeratan hukum ini akan lebih menimbulkan shock therapy bagi perusahaan.
“Hukum Indonesia belum berpihak pada lingkungan karena perkara lingkungan dilihat sebagai perkara biasa. Padahal perkara lingkungan adalah perkara struktural menyangkut pihak yang punya kekuasaan ekonomi dan politik melawan rakyat yang hak kesehatannya dilanggar dan lingkungan yang merupakan ruang hidup dirusak,” tegasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Istri Menteri UMKM Bukan Pejabat, Diduga Seenaknya Minta Fasilitas Negara untuk Tur Eropa
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas MPV 1500cc: Usia 5 Tahun Ada yang Cuma Rp90 Jutaan
- 5 Rekomendasi Pompa Air Terbaik yang Tidak Berisik dan Hemat Listrik
- Diperiksa KPK atas Kasus Korupsi, Berapa Harga Umrah dan Haji di Travel Ustaz Khalid Basalamah?
- 5 AC Portable Mini untuk Kamar Harga Rp300 Ribuan: Lebih Simple, Dinginnya Nampol!
Pilihan
Terkini
-
5 Desain Rumah Minimalis dengan Rooftop yang Stylish dan Fungsional
-
5 Rekomendasi Desain Taman Depan Rumah Subsidi yang Estetis dan Hemat
-
STOP KREDIT! Ini Cara Beli Mobil Pertama Tanpa Riba dan Utang
-
Daftar 10 Link DANA Kaget Terbaru 4 Juli 2025, Cari Cuan Tetap Waspada Penipuan Saldo Digital!
-
Hemat Jutaan! Ini Dia Trik Jitu Bangun Rumah Tipe 36 dari Nol Tanpa Ngutang!