Total luas kawasan yang terbakar di OKI mencapai 473.101 hektare.
Luasan itu setara dengan 24,8 persen lahan di kabupaten yang luasnya sekitar19.023,47 km persegi, atau seluas 1.902.347 hektare.
“Walhi sangat menyesalkan ketika Pengadilan Negeri malah tidak mengabulkan gugatan tersebut. Berbagai bukti dan keterangan ahli telah dihadirkan sebagai fakta jika perusahaan memiliki motif membiarkan kebakaran hutan dan lahan sehingga merugikan, terkhusus bagi kesehatan masyarakat,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan pada saat itu, kepada Suarasumsel.id, (25/10/2020).
Hadi juga menyinggung, selain kerusakan ekologis di lahan yang terbakar juga ada kerugian materil yang seharusnya bisa dinilai akibat kelalaian perusahaan.
Baca Juga: Kesedihan Keluarga Serang Speedboat yang Hilang: Ia Biasanya Cepat Pulang
Misal bertambah ongkos kesehatan masyarakat terdampak kabut asap, terutama masyarakat yang berada dekat di kawasan yang muncul titik panas. Keputusan hakim di Pengadilan Negeri itu pun sempat juga dikritik publik.
Sejumlah kampanye muncul dari petikan keputusan vonis itu. Masyarakat terutama di Sumsel meluapkan seluruh kekesalan mereka di media sosial.
Di Jakarta, penolakan gugatan perdata oleh Majelis Hakim PN Kelas 1 Palembang ditanggapi serius oleh pemerintah.
Pada awal 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan banding atas putusan yang memenangkan perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas Group.
Upaya ini membuahkan hasil yang menggembirakan.
Baca Juga: Berencana Liburan di Akhir Tahun? Tiket Kereta Api Sudah Bisa Dipesan Lho
Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan mengabulkan gugatan Pemerintah terhadap PT. BMH dengan mengharuskan perusahaan membayar ganti rugi sebesar Rp 78 Miliar.
Jumlah putusan ganti rugi itu sebenarnya belum seberapa jika dibandingkan dengan ganti rugi yang harus dibayarkan perusahaan Kelapa Sawit Kalista Alam yang mencapai Rp 366 miliar rupiah yang terbukti merusak habitat orangutan Sumatera di Rawa Tripa, Aceh.
Meski begitu, keputusan Pengadilan Tinggi, nomor 51/PDT/2016/PT.PLG tersebut bisa menjadi sejarah positif untuk penegakan hukum atas kerusakan lingkungan di Indonesia.
Amar putusan Pengadilan Tinggi waktu itu mengacu pada penghitungan empat kerugian yang muncul dalam dakwaan.
Perhitungan kerugian itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang memuat empat kerugian ekologis, yakni kerusakan pada tanah gambut akibat kehilangan fungsinya menyimpan air, kerugian akibat kehilangan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika.
Dua kerugian lainnya, yakni kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon release). Keempat adalah penghitungan atas kerugian ekonomi yang mengacu pada masa usia produktif tanah.
Berita Terkait
Terpopuler
- Istri Menteri UMKM Bukan Pejabat, Diduga Seenaknya Minta Fasilitas Negara untuk Tur Eropa
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas MPV 1500cc: Usia 5 Tahun Ada yang Cuma Rp90 Jutaan
- 5 Rekomendasi Pompa Air Terbaik yang Tidak Berisik dan Hemat Listrik
- Diperiksa KPK atas Kasus Korupsi, Berapa Harga Umrah dan Haji di Travel Ustaz Khalid Basalamah?
- 5 AC Portable Mini untuk Kamar Harga Rp300 Ribuan: Lebih Simple, Dinginnya Nampol!
Pilihan
Terkini
-
5 Desain Rumah Minimalis dengan Rooftop yang Stylish dan Fungsional
-
5 Rekomendasi Desain Taman Depan Rumah Subsidi yang Estetis dan Hemat
-
STOP KREDIT! Ini Cara Beli Mobil Pertama Tanpa Riba dan Utang
-
Daftar 10 Link DANA Kaget Terbaru 4 Juli 2025, Cari Cuan Tetap Waspada Penipuan Saldo Digital!
-
Hemat Jutaan! Ini Dia Trik Jitu Bangun Rumah Tipe 36 dari Nol Tanpa Ngutang!