-
Kilang Pertamina RU III Plaju menjadi simbol ketangguhan energi nasional di tepian Sungai Musi.
-
Sistem Pertamina One menyatukan kilang, logistik laut, dan distribusi energi dalam satu nadi efisiensi.
-
Para pekerja Plaju menjaga agar nyala energi negeri tetap hidup dari laut hingga dapur rakyat.
SuaraSumsel.id - Di tepian Sungai Musi yang berair kecoklatan, di mana ratusan tahun silam kapal-kapal dagang Sriwijaya berlabuh membawa rempah, kini berdiri menara-menara baja yang menjulang seperti obor modern. Asap putih mengepul pelan dari cerobong Refinery Unit (RU) III Plaju, tanda bahwa jantung energi Indonesia masih berdetak, tanpa henti, siang dan malam.
Di sinilah, di tempat peradaban maritim dulu berjaya, para pekerja Pertamina hari ini melanjutkan misi lama Sriwijaya yakni menjaga aliran kehidupan dari tepian Musi ke seluruh Nusantara. Bedanya, mereka bukan lagi pelaut yang berlayar dengan perahu pinisi, melainkan ‘pelaut modern’ yang mengawal aliran crude oil (minyak mentah) dari laut hingga tangki, dari pipa bawah tanah hingga bahan bakar yang menggerakkan negeri.
“Setiap tetes minyak yang sampai ke kilang ini adalah hasil kerja banyak tangan,” ujar Siti Fauzia, Area Manager Communication, Relations & CSR RU III Plaju – PT Kilang Pertamina Internasional.
“Ada awak kapal di laut, teknisi di lapangan, hingga operator yang berjaga di ruang kontrol selama 24 jam. Mereka semua bekerja dalam satu sistem, satu nadi,” ujar Siti menjelaskan.
Baca Juga:Menebus Jejak Karbon: Api yang Kini Menyembuhkan Bumi
Seperti halnya para pelaut Sriwijaya yang dulu menaklukkan lautan rempah, para pekerja Plaju kini menjaga jalur minyak yang tak kalah dinamis. Mereka menghadapi ombak, badai, tekanan harga global, dan fluktuasi geopolitik. Namun semangatnya tetap sama yakni membawa sumber daya negeri untuk kemakmuran rakyatnya.
Setiap hari, dari perairan Muntok di Bangka Belitung, kapal tanker Pertamina melakukan proses Ship-to-Ship (STS), memindahkan minyak mentah dari kapal besar ke kapal kecil yang akan berlayar menuju Palembang. Dari sana, minyak dialirkan ke dermaga penerimaan RU III Plaju untuk diolah menjadi bensin, solar, avtur, LPG, hingga pelumas, yakni produk yang menjadi darah kehidupan bagi jutaan kendaraan dan mesin di Indonesia bagian barat.
Proses itu mungkin tampak mekanis, namun di baliknya tersimpan kisah manusia yang tak kalah menggetarkan.
“Di STS Muntok selalu ada perwira Pertamina yang berjaga dua minggu sekali secara bergantian, Mereka tidur di laut, mengawasi langsung kualitas crude yang diterima. Mereka memastikan minyak yang datang sesuai standar sebelum diolah di kilang. Mereka seperti pelaut Sriwijaya masa kini, menjaga jalur logistik energi agar tetap hidup,” cerita Siti.
Di darat, di area kilang Plaju yang luasnya lebih dari 200 hektar, puluhan operator dan teknisi bergantian piket siang dan malam. Mereka memantau tekanan, suhu, dan aliran minyak di layar-layar digital berukuran besar. Sekali saja sistem melambat, mereka harus bergerak cepat. “Energi tidak boleh berhenti,” ujar Siti.
Baca Juga:Saat Energi Menetes Jadi Madu: Dari Hulu Migas ke Hulu Kehidupan
Kata-kata itu bukan sekadar metafora. Di Palembang dan Sumatera bagian selatan, kehidupan ekonomi, transportasi, hingga industri sangat bergantung pada suplai energi dari RU III Plaju. Maka, di balik riuh kota dan gemerlap lampu malam, ada sekelompok orang yang bekerja dalam senyap, menjaga agar api itu tak pernah padam.
Kilang RU III Plaju, meski berusia lebih dari seabad, kini menjadi pionir transformasi Pertamina melalui sistem Pertamina One, yakni sebuah konsep integrasi tiga subholding utama di lini hilir yakni PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), PT Pertamina Patra Niaga, dan PT Pertamina International Shipping (PIS).
Integrasi ini menghubungkan rantai energi dari laut hingga distribusi ke SPBU di pelosok negeri. PIS memastikan kapal dan logistik laut berjalan lancar, KPI mengelola pengolahan di kilang, sementara Patra Niaga menyalurkan produk ke terminal BBM dan jaringan distribusi. “Sekarang semua terhubung dalam satu sistem data. Setiap pergerakan kapal, stok crude, dan volume BBM bisa dipantau secara real time,” ujar Siti.
Hasilnya luar biasa. Sejak sistem integrasi ini diterapkan pada awal 2024, biaya logistik crude berhasil ditekan hingga 12 persen, dan waktu tunggu kapal di STS Muntok berkurang rata-rata 30 jam per siklus pengiriman. Efisiensi ini memberi dampak langsung pada stabilitas biaya produksi bahan bakar nasional.
RU III Plaju sendiri beroperasi dengan kapasitas olahan rata-rata 70–80 ribu barel per hari, dari kapasitas desain 126 ribu barel per hari, atau sekitar 12 persen total produksi BBM nasional. Dengan total yield 99,1 persen, kilang ini menjadi salah satu yang paling efisien di jaringan Pertamina, meski hanya memiliki Nelson Complexity Index (NCI) 3,1 yang tergolong moderat dibanding Balongan atau Balikpapan. “Kami mungkin tidak termuda, tapi kami paling tangguh.” ujar Siti.
Dari Plaju, energi disalurkan untuk memenuhi 100 persen kebutuhan solar dan biosolar Sumatera Selatan, 100 persen avtur, 85 persen pertalite, dan 45 persen LPG. Ketahanan ini menjadikan RU III Plaju jantung energi barat Indonesia, yakni tempat setiap tetes minyak diubah menjadi denyut ekonomi.