Lewat Program Desa Impian, Beternak Puyuh Jadi Harapan Baru Mantan Penambang Ilegal

Ancaman kecelakaan, debu pekat, hingga kerusakan alam sudah menjadi harga yang dibayar setiap keluarga.

Tasmalinda
Minggu, 28 September 2025 | 17:11 WIB
Lewat Program Desa Impian, Beternak Puyuh Jadi Harapan Baru Mantan Penambang Ilegal
Puyuh menjadi jalan keluar penambang ilegal
Baca 10 detik
  • Program Desa Impian yang digagas PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi jalan keluar bagi warga Desa Sleman, Tanjung Agung, untuk lepas dari tambang ilegal. Melalui agrikultur, masyarakat diarahkan membangun ekonomi yang lebih layak, aman, dan berkelanjutan.

  • Tonidi, mantan penambang ilegal, kini memimpin kelompok Budidaya Burung Puyuh Bangsal Pematang. Dengan dukungan pelatihan dan ribuan ekor puyuh dari PTBA, kelompok ini berhasil menghasilkan 23–25 kilogram telur setiap hari yang dipasarkan ke berbagai daerah.

  • Budidaya puyuh tidak hanya memberi keuntungan setara UMR bagi anggota kelompok, tetapi juga membuka harapan baru untuk menyerap tenaga kerja dan memutus ketergantungan masyarakat pada tambang ilegal. “Telur kecil, harapan besar,” menjadi semangat yang mereka bawa ke masa depan

SuaraSumsel.id - Di Desa Sleman, Kecamatan Tanjung Agung, hidup seakan selalu berdampingan dengan rasa cemas. Bunyi ledakan tambang ilegal kerap menjadi latar hari-hari warga, sementara bayang-bayang razia aparat membuat dada berdegup lebih kencang dari biasanya.

Ancaman kecelakaan, debu pekat, hingga kerusakan alam sudah menjadi harga yang dibayar setiap keluarga. Namun, kisah muram itu perlahan menemukan titik terang ketika PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menghadirkan program Transformasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang kini bertransformasi menjadi Desa Impian.

Lewat program ini, warga diajak meninggalkan sekop dan dinamit untuk merangkul kehidupan baru melalui agrikultur, membangun ekonomi, memperkuat ketahanan pangan, sekaligus menghidupkan kembali tanah yang lama ditinggalkan bekas galian tambang.

Tonidi, salah seorang warga yang pernah terlibat dalam PETI, mengingat betul titik balik hidupnya. Pada Februari 2024, ia masih aktif di tambang ilegal ketika bertemu dengan perwakilan PTBA. Melalui pertemuan sederhana itu, Tonidi mengetahui kabar besar bahwasanya PTBA ingin mengalihkan masyarakat dari ketergantungan pada tambang ilegal menuju usaha yang lebih layak.

Baca Juga:Banjir Pendaftar, Open Rekrutmen Marching Band Bukit Asam Pecahkan Rekor

“Bagi saya, ini angin segar,” kata Tonidi. Ia sadar sejak lama, bekerja di PETI tidak hanya melanggar hukum, tapi juga penuh bahaya. Peralatan kerja seadanya, rasa tidak aman, hingga keharusan sembunyi-sembunyi dari razia aparat, semua itu menambah tekanan.

Maka ketika ada peluang baru, Tonidi tidak ragu. Ia memilih meninggalkan tambang dan mencoba peruntungan di jalur berbeda, menjadi ketua kelompok Budidaya Burung Puyuh Bangsal Pematang.

“Jadi dengan adanya program ini, saya pribadi merasa sangat senang karena saya dan teman-teman akhirnya mendapatkan peluang untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, aman dan bermartabat,” imbuh Tonidi.

Program Desa Impian sebenarnya menawarkan banyak pilihan usaha yakni ikan, belut, hingga kambing. Namun Tonidi mantap memilih puyuh. Alasannya sederhana karena perawatannya lebih mudah, tingkat keberhasilannya tinggi, dan hasilnya menjanjikan. Bahkan kotoran puyuh bisa diolah kembali menjadi pakan ikan, membentuk rantai usaha yang saling terhubung.

Perjalanan dimulai dengan pelatihan. Bersama anggota kelompok, Tonidi belajar cara merawat puyuh, menghitung produksi telur, hingga mengelola keuntungan. Tidak berhenti di teori, PTBA langsung menyalurkan bantuan 200 ekor puyuh pada Maret 2024.

Baca Juga:PTBA Raih Dua Penghargaan Bergengsi di IICD Corporate Governance Award 2025

Ilmu yang didapat langsung dipraktikkan, dan hasilnya nyata yaitu puyuh bertelur sesuai hitungan, keuntungan mulai mengalir. Melihat kesungguhan itu, PTBA menambah dukungan — 1.000 ekor puyuh, kemudian 2.000 ekor lagi di akhir 2024. Kini, populasi di kandang Bangsal Pematang sudah mencapai 3.000 ekor.

Setiap hari, kandang itu menghasilkan 23–25 kilogram telur. Hasil panen dikumpulkan seminggu sekali, lalu dipasarkan ke Tanjung Enim, Muara Enim, hingga Baturaja. Harga jual relatif stabil pada Rp36.000 per kilogram di Tanjung Enim, dan Rp34.000 di Baturaja karena pembeli datang langsung ke lokasi.

Setelah dipotong biaya pakan dan listrik, keuntungan bersih cukup untuk memenuhi upah setara UMR bagi anggota yang aktif. Saat ini, dari 10 anggota kelompok, 4 orang mengelola penuh kandang, sementara sisanya membantu bila ada perbaikan atau kebutuhan mendesak.

Telur Kecil, Harapan Besar

Bagi kelompok Bangsal Pematang, perjalanan ini baru permulaan. Mereka berharap budidaya puyuh bisa terus berkembang, menyerap tenaga kerja lebih banyak, serta membantu masyarakat sekitar lepas dari belenggu tambang ilegal.

“Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk PTBA yang sudah peduli dan mendukung kami. Harapan kami, semoga PTBA terus membersamai kami dalam mengembangkan budidaya puyuh ini agar manfaatnya makin luas,” tutup sang ketua penuh optimisme.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini