Romi tak bisa menyembunyikan rasa bangganya melihat wajah desanya yang kini perlahan berubah.
“Sekarang, Sungsang mulai tumbuh menjadi ruang hidup yang beragam, dari hutan mangrove, ekowisata, sampai produk unggulan masyarakat,” ucapnya.
Kebangkitan itu terasa semakin lengkap ketika, di musim tertentu, burung-burung migran kembali singgah di tanah timbul Sungsang.
Setiap akhir tahun, tepatnya mulai November, ribuan burung dari Siberia datang mencari hamparan pasir dan rawa yang subur untuk beristirahat. Pemandangan ini kian populer dan menjadikan Kabupaten Banyuasin sebagai salah satu tujuan wisata burung migran di Indonesia.
Baca Juga:Semangat Kemerdekaan! SKK Migas Sumbagsel Gelar Upacara HUT RI ke-80 di Tengah Laut
Desa Sungsang IV pun terus menata diri. Kini telah ada penginapan sederhana, jalur eduwisata mangrove, hingga rencana besar membuat masterplan kawasan hutan tanah timbul Tanjung Carat.
Dari sisi ekonomi, masyarakat tak lagi sekadar menjual hasil tangkapan laut. Mereka kini mengembangkan produk unggulan khas Sungsang: pempek udang, sabun cuci tangan berbahan mangrove, dodol dan sirup mangrove, hingga olahan segar dari mangrove pedade yang dikenal lebih sejuk di lidah.
Tirusan: Emas dari Laut yang Kembali
Puncak kebahagiaan warga datang ketika seorang kepala dusun menemukan ikan tirusan di perairan sekitar mangrove yang baru tumbuh.
Ikan ini bukan sembarang ikan. Ia bernilai ekonomi sangat tinggi, terutama bagian gelembung renangnya (swim bladder) yang dihargai ratusan juta rupiah per kilogram di pasar ekspor.
Baca Juga:Kenapa Pelabuhan Tanjung Carat Banyuasin Jadi Proyek Strategis yang Dikebut Sumsel?
“Dua ekor ikan saja bisa mencukupi kebutuhan hidup nelayan selama dua sampai tiga bulan,” sambung Romi.
Kemunculan kembali ikan ini menjadi simbol bahwa alam memberi balasan bagi manusia yang merawatnya.
Dulu, Sungsang nyaris kehilangan identitas lautnya karena pembukaan lahan dan penebangan liar. Kini, perlahan tapi pasti, ekosistem kembali memeluk mereka.
Kepala Departemen Formalitas dan Kehumasan SKK Migas Sumbagsel Safe’i menegaskan bahwa program ini bukan hanya soal produksi energi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan.
“Ini sejalan dengan nawacita Presiden Prabowo dalam mewujudkan kemandirian energi, namun kami juga memastikan ekosistem tetap lestari. Penanaman mangrove adalah warisan hijau untuk generasi berikutnya,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa tahun kedua dan ketiga program ini akan diperluas. Udara di Sungsang akan terasa lebih segar, kawasan pesisir lebih rindang, dan yang terpenting, masyarakat semakin sadar untuk menjaga alam.