Terungkap! Jejak Pitis, Koin Kesultanan Palembang Ternyata Sudah Dicatat Sejak 1819

Di tengah derasnya arus digitalisasi ekonomi, sebuah kajian ilmiah dari UIN Raden Fatah Palembang justru mengangkat kembali memori kolektif tentang sistem moneter lokal.

Tasmalinda
Jum'at, 04 Juli 2025 | 12:39 WIB
Terungkap! Jejak Pitis, Koin Kesultanan Palembang Ternyata Sudah Dicatat Sejak 1819
Bentuk koin kesultanan Palembang

SuaraSumsel.id - Di tengah derasnya arus digitalisasi ekonomi, sebuah kajian ilmiah dari UIN Raden Fatah Palembang justru mengangkat kembali memori kolektif tentang sistem moneter lokal masa silam.

Sebuah koin mungil yang dahulu menjadi denyut ekonomi Kesultanan Palembang Darussalam, kini kembali menjadi sorotan yang dinamai pitis.

Dalam Kajian Reboan Pascasarjana UIN Raden Fatah yang digelar secara daring dan luring pada Rabu (2/7), Dr. Kemas A.R. Panji, M.Si, dosen sejarah Islam yang baru saja menyandang gelar Doktor Peradaban Islam ke-272—memaparkan hasil penelitiannya tentang mata uang lokal tersebut.

Kajian ini tidak berdiri sendiri, tetapi dipadukan dengan temuan-temuan naskah kuno Palembang yang dimiliki oleh Ustad Kemas H. Andi Syarifuddin, seorang pengkaji manuskrip tradisional.

Baca Juga:Inflasi Sumsel Naik Tipis, Tapi Masih Aman! Ini Langkah Pemerintah Kendalikan Harga Pangan

Disertasi doktoral Dr. Kemas berjudul “Mata Uang Kesultanan Palembang Darussalam dalam Perspektif Sejarah” membuka cakrawala baru soal eksistensi pitis sebagai instrumen ekonomi yang sah di masa Kesultanan Palembang.

Ia menyebutkan bahwa penyebutan pitis dalam naskah kuno Palembang telah tercatat sejak pasca atau Perang Menteng tahun 1819 yang menandai bahwa sistem keuangan lokal telah terbangun sebelum kolonial Belanda menguasai penuh tanah Sriwijaya ini.

“Naskah dan koin saling menguatkan. Apa yang tertulis di naskah dikuatkan keberadaan koin, dan sebaliknya,” ujar Dr. Kemas dalam kajian tersebut.

Salah satu naskah yang dibuka menyebut peristiwa ketika Sultan Palembang bersuka cita atas kemenangan dalam Perang Palembang Pertama melawan Belanda.

Sultan dikisahkan membagikan hadiah berupa pakaian dan uang pitis kepada para panglima sebagai penghargaan atas jasa mereka.

Baca Juga:Motivasi Langsung dari Gubernur, Ini Pesan Herman Deru untuk Generasi Muda Sumsel

Ini menjadi catatan penting bahwa pitis bukan sekadar alat transaksi, tetapi juga simbol status, hadiah kerajaan, dan bagian dari diplomasi internal istana.

Lebih menarik lagi, eksistensi pitis ternyata tidak hanya tercatat dalam sumber lokal.

Seorang orientalis Inggris, William Marsden, dalam karyanya The History of Sumatra (1783), juga mencatat penggunaan pitis sebagai mata uang lokal yang aktif digunakan dalam aktivitas perdagangan.

Sementara dalam buku Kuto Gawang karya sejarawan lokal Johan Hanafiah, keberadaan pitis dikaitkan erat dengan sistem perdagangan Kesultanan Palembang yang telah menjalin kontrak dagang hingga ke luar negeri.

“Kesultanan Palembang saat itu telah memiliki jaringan perdagangan antarbangsa. Pitis adalah salah satu alat yang menjaga keseimbangan nilai tukar di tingkat lokal,” ungkap Ustad Kemas Andi.

Kajian ini tidak hanya penting bagi sejarawan, namun juga membuka peluang bagi sektor ekonomi kreatif dan pariwisata.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini