Rp400 Juta untuk 'Ibu': Kesaksian di Sidang Korupsi Banyuasin Seret Eks Ketua DPRD Sumsel?

Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan infrastruktur di Kelurahan Keramat Raya, Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin, kembali menghadirkan dinamika baru.

Tasmalinda
Rabu, 25 Juni 2025 | 19:43 WIB
Rp400 Juta untuk 'Ibu': Kesaksian di Sidang Korupsi Banyuasin Seret Eks Ketua DPRD Sumsel?
ilustrasi uang untuk ibu di sidang korupsi Banyuasin

SuaraSumsel.id - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan infrastruktur di Kelurahan Keramat Raya, Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin, kembali menghadirkan dinamika baru.

Di tengah pembacaan kesaksian, nama mantan Ketua DPRD Sumsel kembali mencuat dan menimbulkan pertanyaan serius terkait aliran dana proyek bernilai ratusan juta rupiah tersebut.

Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Rabu (25/6/2025), menghadirkan saksi Erwan Hadi, seorang karyawan bank, yang memberikan kesaksian mengejutkan terkait salah satu terdakwa, Arie Martha Redo, mantan Kabag Humas dan Protokol Sekretariat DPRD Sumsel.

Kesaksian Bankir: “Untuk Ibu?”

Baca Juga:Jadi Dirut Bank Sumsel Babel, Ini 5 Fakta Menarik Harry Gale dan Tantangan Barunya

Dalam persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim Fauzi Isra, SH, MH, saksi Erwan mengaku pernah dimintai tolong oleh terdakwa Arie—yang disebut masih memiliki hubungan keluarga dengannya—untuk mengecek saldo rekening pribadi.

“Pada tahun 2024, terdakwa Arie Martha Redo menghubungi saya dengan nada tergesa-gesa dan meminta agar saya mengecek isi rekeningnya. Saya sampaikan tidak bisa sembarangan mengecek karena itu melanggar aturan,” kata Erwan di ruang sidang.

Namun yang menjadi perhatian adalah saat saksi mengonfirmasi soal dugaan penarikan dana Rp400 juta yang disebut-sebut berkaitan dengan proyek pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD Sumsel.

Ketika ditanya untuk siapa dana tersebut digunakan, saksi menyebut Arie menjawab, “Untuk Ibu.”

“Saya tidak tahu pasti siapa yang dimaksud, tapi saya berasumsi yang dimaksud adalah atasan terdakwa saat itu,” ujar Erwan.

Baca Juga:Fakta Mengejutkan! Hanya 6 Persen TK di Sumsel yang Dikelola Pemerintah

Bantahan Terdakwa: “Salah Dengar karena Berisik”

Kesaksian tersebut langsung dibantah keras oleh terdakwa Arie Martha Redo. Ia menuding bahwa saksi salah dengar.

“Silakan tanya langsung ke yang bersangkutan, saya tidak pernah mengatakan itu. Mungkin waktu itu suasana ramai dan saksi salah dengar,” ujar Arie membela diri.

Namun demikian, penyebutan istilah “Ibu” tetap menjadi perhatian publik, mengingat dalam konteks birokrasi dan politik lokal, sapaan tersebut kerap dikaitkan dengan sosok pejabat perempuan berpengaruh.

Gedung DPRD Sumsel
Gedung DPRD Sumsel

Tiga Terdakwa, Proyek Bermasalah

Selain Arie, dua terdakwa lainnya adalah Apriansyah, Kepala Dinas PUPR Banyuasin, dan Wisnu Andrio Fatra, Wakil Direktur CV HK—rekanan proyek. Mereka didakwa terlibat dalam pengaturan proyek pembangunan kantor lurah, pengecoran jalan RT, dan pembuatan drainase.

Menurut Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumsel, proyek tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp688 juta, sebagaimana tertuang dalam Laporan Hasil Perhitungan BPKP Perwakilan Sumsel.

“Para terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dengan menyebabkan kerugian negara,” tegas JPU dalam amar dakwaannya.

Ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang ancamannya bisa mencapai pidana penjara dan denda tinggi.

Politik Lokal dalam Bayang-Bayang Proyek

Kasus ini menyoroti persoalan klasik proyek Pokir yang kerap dikaitkan dengan praktik "bagi-bagi jatah" di sejumlah daerah. Penyebutan nama mantan Ketua DPRD Sumsel dalam sidang menambah aroma politis dalam perkara ini.

Meskipun belum ada penetapan status terhadap sosok yang diduga sebagai “Ibu” dalam pengakuan saksi, publik Sumsel kini menunggu apakah penyidikan akan berkembang lebih jauh, atau berhenti pada tiga terdakwa tersebut.

Sidang dugaan korupsi proyek PUPR Banyuasin membuka lembaran baru dalam dinamika hukum dan politik Sumatera Selatan.

Apakah pengakuan saksi tentang uang “untuk Ibu” akan membuka jalan bagi penyelidikan lebih dalam? Ataukah akan tenggelam di balik bantahan dan keraguan teknis di ruang sidang?

Yang jelas, publik menuntut kejelasan dan penegakan hukum yang tidak tebang pilih—terutama dalam kasus yang menyeret uang negara dan kepercayaan rakyat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini