Kronologi Rektor Universitas Bina Darma Jadi Tersangka: Dari Sewa Lahan ke Jerat Hukum

Penetapan ini tertuang dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/043/V/RES.1.11/2025/Dittipideksus, tertanggal 21 Mei 2025.

Tasmalinda
Selasa, 03 Juni 2025 | 19:29 WIB
Kronologi Rektor Universitas Bina Darma Jadi Tersangka: Dari Sewa Lahan ke Jerat Hukum
Rektor Universitas Bina Darma Palembang ditetapkan sebagai tersangka

SuaraSumsel.id - Rektor Universitas Bina Darma, Prof. Dr. Sunda Ariana, MPd, MM bersama dengan Direktur Keuangan UBD, YK telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.

Kasus ini terkait dugaan penggelapan dalam jabatan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai fantastis, mencapai sekitar Rp38 miliar.

Kasus ini bermula dari dugaan sengketa dan penghentian pembayaran sewa lahan yang telah dimanfaatkan oleh Universitas Bina Darma dan Yayasan Bina Darma yang dilaporkan pada tahun 2022.

Penetapan ini tertuang dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/043/V/RES.1.11/2025/Dittipideksus, tertanggal 21 Mei 2025 yang ditandatangani langsung oleh Brigadir Jenderal Polisi Helfi Assegaf, SIK, MH.

Baca Juga:AirAsia Kembali Aktifkan Rute PalembangMalaysia, Dukung Pariwisata Sumsel

Kuasa hukum pelapor Suheriyatmono, Muh Novel Suwa, SH, MM, MSi, menjelaskan secara runtut bagaimana kasus ini bermula hingga akhirnya menyeret nama besar dalam dunia akademik.

Pada Suara.com, Selasa (3/6/2025), Novel menyebut bahwa pelaporan ini bukan dilakukan secara gegabah, melainkan melalui proses yang panjang dan penuh pertimbangan hukum.

Kasus ini mencuat setelah ditemukan dugaan tindak pidana yang merugikan kliennya, Suheriyatmono.

Dari hasil penyelidikan mendalam oleh pihak berwenang, akhirnya ditetapkan empat orang sebagai tersangka.

Salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah ditetapkannya Rektor Universitas Bina Darma, Prof Dr Sunda Ariana, MPd, MM, sebagai salah satu tersangka.

Baca Juga:Sumsel Catat Deflasi Mei 2025, Harga Cabai dan Bawang Turun Tajam

Nama besar sang rektor yang selama ini dikenal luas dalam dunia pendidikan, membuat kasus ini sontak menjadi sorotan, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat luas.

Pada tahun 2001, Suheriyatmono bersama tiga rekannya—Jai, Eva, dan Bukhori—melakukan pembelian lahan strategis di Jalan Ahmad Yani, Palembang.

Lahan tersebut kemudian menjadi fondasi berdirinya Kampus Universitas Bina Darma yang kini dikenal luas di Sumatera Selatan.

Dengan total luas mencapai 5.571 meter persegi, lahan itu dibeli seharga Rp4 miliar—nilai yang kala itu tergolong besar dan mencerminkan betapa strategisnya lokasi tersebut.

Dalam kesepakatannya, lahan tersebut tidak dijual langsung ke pihak universitas, melainkan disewakan dengan nilai sewa sebesar Rp75 juta per bulan.

Perjanjian ini awalnya berjalan lancar, namun semua berubah saat pucuk kepemimpinan kampus berganti.

Rektor yang kini justru menjadi salah satu tersangka dalam kasus dugaan penggelapan, diduga mengabaikan kewajiban pembayaran sewa.

Sejak saat itu, konflik mulai mencuat dan berujung pada pelaporan hukum.

"Benar, kasus ini memang sempat bergulir di Polda Sumsel dengan pokok perkara yang sama, yakni sengketa atas tanah tersebut. Namun, saat itu proses hukum dihentikan atau di-SP3-kan lantaran kedua belah pihak sepakat untuk saling memaafkan dan mengakhiri perseteruan lewat sebuah kesepakatan damai yang disahkan secara bersama," ucapnya menjelaskan.

Namun, Novel menegaskan bahwa dalam kesepakatan damai yang pernah disepakati, secara jelas tercantum kewajiban pembayaran yang harus diselesaikan oleh pihak terlapor.

Kesepakatan itu bukan sekadar pernyataan saling memaafkan, melainkan juga memuat komitmen nyata untuk menuntaskan tanggung jawab finansial.

Sayangnya, alih-alih menepati janji, pihak terlapor justru mengingkari kesepakatan tersebut.

Ketidakpatuhan inilah yang kemudian menjadi dasar kuat bagi pelapor untuk kembali menempuh jalur hukum dengan membuat laporan ke Mabes Polri.

Terkait proses hukum perdata yang hingga kini belum inkrah atas perkara yang sama, Novel mengungkapkan bahwa gugatan yang sedang berjalan saat ini merupakan upaya hukum kelima yang ditempuh terlapor.

"Pada gugatan perdata keempat, klien kami berhasil menang di Pengadilan Negeri Palembang, namun putusan tersebut kemudian dinyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) saat kasasi di Mahkamah Agung. Karena itu, pelapor itu, gugat perdata lagi," ujarnya.

Kini, Rektor Universitas Bina Darma resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan dalam jabatan yang disertai dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Mabes Polri.

Penetapan ini tak lepas dari rangkaian penyelidikan yang telah berproses cukup lama. Nilai kerugian dalam kasus ini pun terbilang fantastis, mencapai sekitar Rp38 miliar.

Profil Universitas Bina Darma Palembang, Sumatera Selatan
Profil Universitas Bina Darma Palembang, Sumatera Selatan

Kasus ini pun menjadi perbincangan publik

Kuasa hukum rektor Universitas Bina Darma Palembang sebelumnya menilai langkah penetapan tersangka oleh Bareskrim terkesan dipaksakan dan kurang berdasar.

Kuasa hukum rektor Universitas Bina Darma, Reinhard Richard A. Wattimena, SH, turut membenarkan bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri.

"Bahwa benar klien kami atas nama Sunda Ariana selaku Rektor UBD oleh penyidik dittipideksus ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana tindak pidana yg dimaksud," ujarnya dihubungi Suara.com, Minggu (1/6/2025).

Menurut tim kuasa hukum, langkah penyidik Dittipideksus dalam menetapkan Prof Dr Sunda Ariana sebagai tersangka dinilai terlalu subjektivitas dan terkesan dipaksakan.

Mereka menyoroti bahwa hingga kini belum ada putusan hukum perdata yang berkekuatan tetap (inkracht) terkait sengketa kepemilikan tanah yang menjadi pokok perkara.

"Seharusnya penyidik menunggu kepastian hukum perdata sebelum melangkah ke proses pidana," ujar kuasa hukum yang menegaskan bahwa penetapan tersangka dalam kondisi seperti ini rawan menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum.

"Atas tindakan tersbut Klien kami merupakan korban dari sistem peradilan pidana yg tidak fair," sambungnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini