Harmoni Kopi, Padi dan Perempuan: Menyusuri Jejak Kehidupan Tunggu Tubang di Sumatera

Di pedalaman Semende, Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel) kehidupan masyarakat adat masih bernafas dalam irama tradisi lama

Tasmalinda
Sabtu, 24 Mei 2025 | 11:21 WIB
Harmoni Kopi, Padi dan Perempuan: Menyusuri Jejak Kehidupan Tunggu Tubang di Sumatera
perempuan tunggu tubang di Muara Enim, Sumatera Selatan

Lebih dari sekadar penghasilan tambahan, kebun kopi adalah ruang di mana peran perempuan sebagai penjaga alam mendapatkan pengakuan nyata.

Dari hasil kopi seluas satu hektare, Juniarti bisa menyekolahkan dua anaknya, memperbaiki rumah, hingga memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Alhamdulillah, penghasilan kopi dipakai untuk menyekolahkan anak. Yang besar ini Marisa, yang kecil masih SD,” tuturnya sambil tersenyum, tangan tetap sibuk merawat batang kopi di bawah rindang pohon.

perempuan tunggu tumbang di Muara Enim Sumatera Selatan
perempuan tunggu tumbang di Muara Enim Sumatera Selatan

Fenomena ini menggambarkan betapa dalam siklus kehidupan masyarakat agraris, kopi dan padi lebih dari sekadar komoditas ekonomi.

Baca Juga:Digital Kito Galo 2025: QRIS Bikin Hidup Makin Mudah, Cukup Sikok Pacak Galo

Mereka menjadi simbol harmoni antara peran gender, kearifan adat, dan strategi bertahan hidup yang diwariskan secara turun-temurun.

Perempuan Tunggu Tubang muncul sebagai jembatan penting—menyatukan tradisi dan inovasi, menyelaraskan masa tanam dan panen, serta menjaga keseimbangan antara alam dan keluarga.

Meski perhatian pemerintah daerah dan lembaga pendamping mulai mengarah kepada kelompok perempuan pengelola kopi, dukungan nyata seperti pelatihan, alat pertanian modern, dan akses pasar masih perlu ditingkatkan agar peran mereka tidak hanya dihargai secara kultural, tetapi juga diperkuat secara ekonomi dan kelembagaan.

Di Sumatera Selatan, upaya pengembangan kopi makin diperkuat melalui Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2024 tentang Pengembangan Kopi Berkelanjutan.

Kebijakan ini menjadi angin segar bagi masyarakat, mengingat kopi adalah komoditas potensial yang tak hanya menghidupi banyak keluarga, tapi juga membuka peluang baru bagi kemajuan ekonomi daerah secara menyeluruh.

Baca Juga:Satu Sentuhan QRIS di Palembang: Gerbang Aman Menuju Dunia Transaksi Tanpa Batas

Kopi, padi, dan perempuan Tunggu Tubang kini bukan hanya entitas, melainkan sebuah kesatuan hidup yang saling melengkapi dan membentuk harmoni dalam siklus kehidupan yang terus bertahan dan berkembang.

Harmoni ini mendapat sorotan melalui proyek Tunggu Tubang Tak Kan Tumbang yang digagas oleh Ghompok Kolektif, yang mengupas sistem ketahanan pangan unik milik masyarakat Tunggu Tubang serta peran vital perempuan di dalamnya.

Menurut Muhammad Tohir, Koordinator Program Tunggu Tubang Tak Kan Tumbang, kebun kopi menjadi berkah tersendiri yang menopang ekonomi keluarga di tengah kekuatan ketahanan pangan yang sudah terjaga lewat padi lokal, tanaman sayuran, dan pemenuhan kebutuhan protein.

"Kopi bukan hanya komoditas, tapi alat produksi penting bagi ekonomi berkelanjutan," ujarnya.

Tohir menegaskan, perempuan sebagai ibu pertiwi menjaga alam yang terdiri dari mata air, hutan, hingga sumber pangan.

"Inilah inti yang kami angkat dalam proyek ini—agar semua orang tahu bahwa peran Tunggu Tubang sangat penting, terutama peran perempuan sebagai pengelola alam dan kehidupan," tambahnya penuh semangat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini