Mengurai Tradisi, Menantang Kebiasaan
Keputusan untuk "tidak mewajibkan" namun tetap "memperbolehkan" dengan catatan kesederhanaan ini memunculkan sebuah paradoks menarik.
Di satu sisi, Disdik Sumsel mengakui nilai sentimental perpisahan bagi siswa dan orang tua. Momen ini seringkali dianggap sebagai puncak dari perjuangan belajar selama bertahun-tahun, sebuah perayaan atas pencapaian yang patut dikenang.
Namun, di sisi lain, realitas di lapangan seringkali menunjukkan bahwa "kesederhanaan" hanyalah sebuah wacana.
Baca Juga:Drama Pelarian 8 Tahanan Polres Lahat: 3 Ditangkap Cepat, 5 Masih Menghilang
Acara perpisahan kerap bertransformasi menjadi ajang unjuk kemewahan, dengan biaya yang tidak sedikit dan berpotensi memberatkan sebagian orang tua.
"Kita memahami betul, bagi sebagian besar siswa dan orang tua, perpisahan ini memiliki makna emosional yang mendalam. Namun, kita juga harus realistis. Terkadang, meskipun imbauan kesederhanaan sudah disampaikan, pelaksanaannya di lapangan justru sebaliknya," ungkap Zulkarnain, menyiratkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Benang Tipis Pengawasan dan Inisiatif
Tantangan krusial lainnya adalah soal pengawasan. Surat edaran Disdik Sumsel melarang keras adanya pungutan oleh pihak sekolah terkait acara perpisahan.
Kepanitiaan pun idealnya dikelola sepenuhnya oleh komite sekolah dan perwakilan orang tua. Namun, di sinilah letak kerawanan.
Baca Juga:Pria Disabilitas di Lubuklinggau Tega Rudapaksa Bocah 11 Tahun, Modusnya Bikin Merinding
Batasan antara inisiatif murni dari orang tua dan adanya "arahan halus" atau bahkan tekanan dari pihak tertentu bisa menjadi sangat tipis dan sulit dideteksi.