Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi menegaskan bahwa, “Negara telah gagal memenuhi kewajiban dasarnya dalam menjamin hak asasi manusia. Warga di sekitar PLTU, khususnya di PLTU Ombilin dan PLTU Teluk Sirih di Sumatera Barat dibiarkan tanpa perlindungan, meski hidup dalam bayang-bayang ancaman kesehatan dan keselamatan akibat aktivitas PLTU.
Negara membiarkan rakyatnya bertaruh nyawa demi kelangsungan hidup sehari-hari”.
Situasi di Sumsel
Sahwan, dari Yayasan Anak Padi Lahat, dengan tegas menyatakan bahwa Lahat, yang merupakan salah satu daerah penghasil terbesar batu bara di Provinsi Sumatera Selatan, telah mengalami dampak buruk yang sangat besar terhadap lingkungan.
Baca Juga:Ini Penjelasan Panjang Alex Noerdin Usai Diperiksa Kasus Pasar Cinde
“Bentang alam yang sangat indah sekitar Bukit Serelo kini berubah menjadi lubang tambang yang besar,” katanya.
Keberadaan tambang batu bara di wilayah ini tidak hanya merusak keindahan alam, tetapi juga menyebabkan masalah besar lainnya.
Saat musim hujan, banjir menjadi ancaman yang terus menghantui, yang disinyalir akibat penyempitan dan pendangkalan sungai akibat aktivitas pertambangan.
Tak hanya itu, angkutan batu bara yang hilir mudik juga menyebabkan polusi udara, yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
PLTU Keban Agung, yang beroperasi di sekitar Lahat, juga memberikan dampak negatif, di mana beberapa petani mengaku hasil pertanian mereka menurun sejak pembangkit listrik tersebut beroperasi.
Baca Juga:Terpidana Korupsi Alex Noerdin Diperiksa Lagi, Kali ini Kasus Pasar Cinde
Sementara itu, Boni, perwakilan dari Perkumpulan Sumsel Bersih, menambahkan bahwa dalam momentum peringatan Hari Bumi 2025, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus segera mengambil langkah besar untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan.