SuaraSumsel.id - Setiap 21 April, bangsa ini mematri ingatannya pada sosok Raden Ajeng Kartini—perempuan Jawa ningrat yang menjadi simbol perjuangan emansipasi di Indonesia.
Di sekolah-sekolah, anak-anak mengenakan kebaya dan menirukan pidato Kartini. Namun, di tengah gemerlap peringatan Hari Kartini, ada satu nama yang nyaris tak pernah terdengar, tenggelam dalam sunyinya sejarah: Ratu Sinuhun.
Nama Ratu Sinuhun mungkin asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ia tak pernah tercantum dalam buku pelajaran sejarah nasional, tak pula dibahas dalam diskusi kebangsaan atau seminar akademik.
Baca Juga:Keren! SSB Palembang Soccer Skills Sabet Trofi Perdana Usai Lebaran
Padahal, jauh sebelum Kartini menulis surat kepada Stella Zeehandelaar, perempuan Palembang ini telah menulis pemikiran-pemikiran progresif dalam bentuk kitab hukum—sebuah karya monumental bernama Undang-Undang Simbur Cahaya.
Ratu Sinuhun adalah istri dari Sido Ing Kenayan, Raja Kerajaan Islam Palembang yang memerintah antara tahun 1639 hingga 1650.
Sebagai perempuan berdarah bangsawan dan ulama, ia tak hanya mendampingi raja sebagai permaisuri, tetapi juga menjadi penyusun hukum yang menyatukan adat lokal dan syariat Islam.
Undang-Undang Simbur Cahaya, yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu, menjadi rujukan hukum di wilayah Uluan dan kawasan kekuasaan Palembang.
Isinya sangat luas: dari hukum adat perkawinan, tata pemerintahan marga, sampai perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan.
Baca Juga:Jejak Emansipasi Ratu Sinuhun: Perempuan Hebat dari Bumi Sriwijaya
Inilah letak keteladanan Ratu Sinuhun yang seharusnya diangkat sejajar dengan para tokoh nasional perempuan lainnya.