Menelusuri Akar Konflik Manusia dan Gajah di Sumsel: Harmoni yang Hilang

Etika ini mencakup pembagian ruang hidup, sumber pangan sekaligus cara menyelesaikan konflik secara damai.

Tasmalinda
Sabtu, 15 Februari 2025 | 20:02 WIB
Menelusuri Akar Konflik Manusia dan Gajah di Sumsel: Harmoni yang Hilang
Gajah Sumatera di kawasan Air Sugihan Sumatera Selatan [dok]

SuaraSumsel.id - Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dengan kekayaan alamnya yang melimpah, menyimpan kisah harmoni antara manusia dan gajah yang telah terjalin selama berabad-abad. Namun, seiring dengan perkembangan jaman yang mengubah bentang alam, harmoni tersebut makin terancam.

Yusuf Bahtimi seorang kandidat Doktor di The Queen’s College, University of Oxford yang tengah meneliti koeksistensi manusia dan gajah di Sumatera Selatan mengungkapkan bahwa masyarakat lokal sebenarnya memiliki etika berkehidupan yang kuat dengan gajah. Etika ini mencakup pembagian ruang hidup, sumber pangan sekaligus cara menyelesaikan konflik secara damai.

Namun, etika luhur ini mulai terkikis seiring dengan kedatangan para pendatang di era kolonial Belanda. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dan kurangnya pemahaman tentang perilaku gajah menjadi pemicu utama konflik.

Konflik antara manusia dan gajah seringkali disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat, pengusaha, dan pemerintah terhadap perilaku gajah. Pembukaan lahan yang tidak memperhatikan habitat gajah menjadi masalahnya.

Baca Juga:Peringatan Dini BMKG! Cuaca Ekstrem Ancam Palembang dan Sejumlah Wilayah di Sumsel

Setiap kawasan yang pernah dijelajahi gajah akan selalu mereka kunjungi kembali. Namun, dengan semakin banyaknya hutan yang dibuka maka kawanan gajah menjadi tidak menentu dalam mencari tempat tinggal. Hal inilah yang kemudian memicu interaksi negatif dengan manusia.

Penting untuk diketahui bahwa setiap pembukaan lahan hutan harus memperhatikan apakah wilayah tersebut merupakan habitat gajah. Contohnya wilayah Lalan Muba berbatas dengan Sembilang Banyuasin berbatas juga dengan TN Sembilang, dimana daerah tersebut adalah habitat bahkan kantong gajah namun sekarang menjadi lahan transmigrasi dan Perusahaan Perkebunan sawit.

Pemahaman terhadap perilaku gajah, sangat penting diketahui oleh kelompok masyarakat yang menetap dan berkebun di kawasan yang diketahui sebagai habitat gajah. Misalnya, waktu istirahat gajah itu pagi hari, dari pukul 05.00 hingga 10.00.

Selain itu, pada waktu gajah istirahat maka jangan mengusiknya apalagi di kawanan tersebut terdapat anak gajah. Setiap kawasan yang pernah didatangi gajah dapat dipastikan akan didatangi kembali, dalam periode tertentu, bisa puluhan atau belasan tahun. Tapi sekarang, ketika banyak hutan terbuka, kawanan gajah bisa kembali ke suatu tempat tidak menentu. Hal inilah yang kemudian menimbulkan interaksi negatif antara manusia dan gajah.

Salah satu peristiwa kelam dalam sejarah konflik manusia dan gajah di Sumatera Selatan adalah Operasi Ganesha pada tahun 1982. Saat itu, ratusan gajah dipindahkan dari Air Sugihan ke Lampung untuk kepentingan transmigrasi.

Baca Juga:Program Mudik Gratis di Sumsel Tetap Berlangsung Meski Ada Efisiensi Anggaran

Namun sekarang keberadaan gajah liar di wilayah tersebut diperkirakaan hanya sekitar 50 ekor. Habitat gajah di wilayah Air sugihan semakin menyempit, setelah era 80an masuknya trasnmigari, perluasan wilayah kelola masyaraka dan saat ini wilayah tersebut sebagian besar adalah wilayah HTI.

Staff Biodiversity Hutan Kita Institue (HaKI) Benny Hidayat mengatakan pemindahan ini tidak menyelesaikan masalah. Gajah-gajah yang tersisa dan berkembang biak di Air Sugihan kini semakin terdesak karena habitat mereka yang terus menyempit akibat transmigrasi, perluasan lahan kelola masyarakat, serta perusahaan HTI.

"Kebijakan Pemerintah terhadap habitan satwa sangat lemah dan cenderung tidak berpihak pada kehidupan satwa. Ditambah lagi pengusaha HTi kurang berperan terhadap keberlangsungan satwa kususnya gajah. Hal ini juga diperparah dengan anggapan masyarakat petani yang menganggap gajah adalah hama," ucapnya.

Saat ini konflik gajah dan manusia masih sering terjadi terutama di wilayah kantong-kantong gajah seperti wilayahn Air Sugihan Oki, Lalan Muba, Sembilang Banyuasin, Cecar Musirawas dan daerah-daerah lainnya.
Penanganan konflik

Upaya Penanganan yang Belum Optimal

Pemerintah melalui BKSDA sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi interaksi negatif antara gajah dan manusia. Namun, upaya yang dilakukan selama ini masih bersifat reaktif dan belum menyentuh akar permasalahan.

Kerjasama antara BKSDA, FKGI, HaKI, Universitas Sriwijaya, dan pihak-pihak terkait lainnya sebenarnya telah terjalin dengan baik. Namun, kendala menjadi penghalang utama dalam membuat perencanaan dan penanganan yang menyeluruh.

Konflik antara manusia dan gajah adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Kajian ilmiah yang mendalam, perumusan masalah yang akurat, dan pencarian solusi bersama adalah kunci untuk merajut kembali harmoni antara manusia dan gajah.

Dalam Upaya bersama, keterlibaatan Masyarakat, pengusaha Hutan dan perkebunan, NGO, Akademisi dll, dapat mengambil perannya masing-masing. Agar Upaya penanganan konflik dengan satwa terutama agajah akan lebih berhasil dan kelestarian gajah terjamin.

"Keterlibatan aktif dari masyarakat, pengusaha, LSM, akademisi, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini. Dengan kerjasama yang baik, kita bisa mewujudkan kehidupan yang berdampingan secara damai antara manusia dan gajah, serta menjaga kelestarian alam Sumatera Selatan," ucapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini