SuaraSumsel.id - Lima terdakwa kasus dugaan korupsi proses akuisisi saham PT SBS melalui PT BMI yang merupakan anak perusahaan PT Bukit Asam Tbk dituntut masing-masing 18 tahun hingga 19 tahun penjara oleh penuntut umum.
Kelima mantan petinggi PT BA dan PT SBS itu didakwa merugikan negara Rp 162 miliar dalam proses akuisisi saham. Lalu, apakah benar akusisi saham yang dilakukan PT Bukit Asam menimbulkan kerugian negara?
Tim kuasa hukum menyampaikan nota keberatan, penuntut umum menyampaikan replik. JPU meminta Majelis Hakim menolak semua nota pembelaan atau pledoi dari para terdakwa maupun tim penasehat hukumnya
"Tetap pada tuntutan JPU, menjatuhkan vonis hukuman kepada para terdakwa sebagaimana pada tuntutan JPU," tegas JPU dalam sidang.
Baca Juga:Kuasa Hukum Terdakwa Dugaan Korupsi Akuisisi Saham PTBA Tetap Pada Pembelaan
Keesokan harinya, tim kuasa hukum membacakan duplik dan menyampaikan duplik tanggapan atas replik dari penuntut umum dihadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang.
"Duplik yang sudah disampaikan tadi dimuka persidangan pada intinya berisi tetap pada nota pembelaan, yang sudah kami sampaikan baik dari penasehat hukum maupun dari nota pembelaan pribadi dari para terdakwa," ujar Gunadi.
Ditegaskan dia, tidak ada hal baru didalam duplik, karena semua dakwaan maupun tuntutan sudah pihaknya tanggapi didalam nota pembelaan.
"Di dalam nota pembelaan kami meminta, agar para terdakwa diputus bebas oleh hajelis hakim dan kami tetap optimis dengan hal tersebut," katanya.
Benarkan merugikan negara?
Baca Juga:Kuasa Hukum Terdakwa Akuisisi Saham PTBA Minta Hakim Pertimbangkan Fakta Sidang
Akhir-akhir ini ada pemberitaan mengenai tindakan akuisisi yang dilakukan anak perusahaan badan usaha milik negara (AP BUMN) PT Bukit Asam yang diduga merugikan keuangan negara, sehingga menyebabkan adanya penetapan tersangka.
Kejadian ini secara hukum keuangan publik harus dibaca sebagai maraknya kembali konservatisme dalam memahami keuangan dan kerugian negara di Indonesia.
Akuisisi sebagai Tindakan Korporasi Secara hukum, akuisisi merupakan pengambilalihan perusahaan atau aset perdata yang dibiayai keuangan perusahaan, sehingga merupakan tindakan korporasi yang menggunakan mekanisme hukum keperdataan. Tidak ada unsur publik atau negara di dalamnya, kecuali dapat dibuktikan adanya pembiayaan langsung negara dalam APBN/APBD dalam bentuk alokasi langsung dan dipertanggungjawabkan dengan mekanisme APBN/APBD.
Akuisisi perusahaan sebagai tindakan korporasi lazimnya menggunakan jasa profesi independen untuk menilai dan menentukan tindakan tersebut telah sesuai dengan karakter perusahaan, peraturan perundang-undangan, serta estimasi manfaat yang diperoleh. Apabila bagi perseroan terbuka, upaya akuisisi mewajibkan beberapa syarat yang dimungkinkan tindakan akuisisi dapat dilakukan menurut prinsip perusahaan yang sehat, sehingga lebih ketat.
Mengingat ketatnya proses akuisisi tersebut, jika ada dugaan akuisisi merugikan perusahaan, sudah semestinya tindakan hukum yang dilakukan adalah dengan mengajukan permohonan pemeriksaan ke pengadilan berdasarkan Pasal 138 UUPT, dan bukan memprosesnya ke ranah hukum publik, misalnya hukum pidana karena mekanisme hukumnya masih harus diuji pada hukum keperdataan terlebih dahulu.
Kerugian Negara bukan akibat Tindakan Korporasi
Kerugian negara sebagai kekurangan hak dan kewajiban negara tidak dapat muncul dari tindakan keperdataan yang dilakukan PT Bukit Asam sebagai AP BUMN, yang merupakan entitas korporasi yang tidak mengelola keuangan negara. Menyamakan PT Bukit Asam sebagai BUMN dan keuangan negara tidak hanya bertentangan dengan sistem hukum, tetapi juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU/2019.
Padahal, kerugian keuangan negara hakikatnya ditujukan pada kekurangan hak dan kewajiban yang muncul dari pengelolaan keuangan negara yang termuat dalam APBN, sehingga dialokasikan, ditambahkan, dan dikeluarkan kas negara. Sementara itu, akuisisi yang dilakukan PT Bukit Asam sebagai AP tidak pernah dialokasikan dalam APBN, karena selain bukan hak dan kewajiban negara, juga bahkan tidak ada kepentingan hukum negara untuk membiayai akuisisi tersebut.
Akuisisi sebagai tindakan keperdataan tidak akan mungkin dialokasikan dan dibiayai negara, karena APBN ditujukan untuk tujuan bernegara dan bukan tujuan perusahaan. Oleh sebab itu, penggunaan keuangan negara wajib untuk kepentingan umum dan bukan kepentingan perusahaan.
Dalam pembedaan tersebut jelas, tidak mungkin kerugian negara muncul dalam tindakan korporasi yang dilakukan PT Bukit Asam karena keuangan negara sendiri tidak pernah membiayai proses akuisisi tersebut dan tidak pernah diakui sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang dengan cara mengalokasikannya dalam UU APBN.
Menyatakan akuisisi sebagai bagian dari keuangan negara justru menimbulkan risiko besar bagi APBN, jika ada tuntutan hukum akibat akuisisi, APBN harus siap menanggungnya.
Tindakan Akuisisi oleh PT Bukit Asam bukan Kerugian Negara
Proses akuisisi yang diduga terjadi penyimpangan dalam PT Bukit Asam secara ilmu hukum diselesaikan dengan prosedur dalam Pasal 138 UUPT, dan terlalu jauh menggunakan prosedur hukum pidana, apalagi pidana khusus dalam hal ini tindak pidana korupsi.
Dalam hal semua pihak menginginkan akuisisi perusahaan tidak merugikan perseroan, upaya yang efektif dilakukan adalah memitigasinya dengan mekanisme korporasi, dan bukan pidana. Karena lebih dapat dipulihkan dan dikendalikan secara cepat dan tepat.
Proses akuisisi bukanlah proses pengambilan keputusan pribadi seseorang, sehingga dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena proses itu dilakukan perseroan dan berdasarkan prosedur perseroan.
Oleh sebab itu, prosedur Pasal 138 UUPT menjadi cara bagi semua pihak, khususnya kejaksaan atas nama kepentingan umum, jika dianggap perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Di sisi lain, menyatakan dugaan kerugian dalam akuisisi PT Bukit Asam sebagai kerugian negara juga merupakan bentuk paradoksal yang paling aneh di Indonesia, karena PT Bukit Asam sebagai AP BUMN bukanlah pengelola keuangan negara, tidak pernah mendapatkan penyertaan modal APBN, juga tidak pernah didirikan oleh negara, serta bukan penyelenggara negara.
Kondisional ini menimbulkan persoalan mengenai apakah memang benar PT Bukit Asam sebagai AP BUMN juga dapat dianggap sebagai hak dan kewajiban negara, padahal pengakuan negara dalam APBN tidak pernah dialokasikan bagi AP BUMN.
Konklusi
Atas dasar segala pemahaman dari segi teoritis hukum keuangan publik, menjadikan tindakan akuisisi oleh PT Bukit Asam sebagai bentuk yang menimbulkan kerugian keuangan negara merupakan bayangan tidak pasti (uncertainty shadow) yang akan sulit membuktikannya mengenai benar tidaknya menyebabkan negara kehilangan hak dan kewajibannya.
Hal ini disebabkan negara tidak memiliki kepentingan atas hak dan kewajibannya dalam PT Bukit Asam sebagai AP BUMN, karena tidak pernah menyetorkan modal juga tidak pernah meminta dividen dari AP BUMN. Oleh sebab itu, ke depan perlunya UUPT disosialisasikan kepada semua pihak terutama penegak hukum dan auditor agar pemahaman mengenai korporasi semakin baik mengenai makna penyertaan modal (inbreng) dan akuisisi yang masih berada dalam ranah hukum perusahaan.