WHO sendiri menyatakan 60 penyakit yang disebabkan polusi, menyerang saluran pernapasan, menimbulkan penyakit paru dan selebihnya penyakit jantung dan pembuluh darah.
![Suasana pemukiman penduduk di kawasan Seberang Ulu I Palembang yang tertutup kabut asap di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (5/9/2023). [ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/09/05/37342-kabut-asap-di-palembang.jpg)
Udara Palembang Memburuk
Asap yang menyelimuti kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), kian memburuk. Pada dua pekan terakhir, angka ISPU sudah melebihi 300 yakni dalam katagori berbahaya.
Angka ISPU yang merupakan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU digunakan menggambarkan mutu udara ambien di suatu lokasi tertentu yang didasarkan pada dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Baca Juga:Breaking News, Agus Fatoni Dilantik Sebagai PJ Gubernur Sumsel
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menyediakan keseragaman informasi ISPU tersebut. Pada tahun 2020, KLHK mengeluarkan peraturan nomor 14 tahun 2020 mengenai ISPU.
ISPU memiliki 7 parameter yakni unsur PM10, PM 2,5, NO2, CO, O3, dan HC. Terdapat 2 parameter yakni HC dan PM 2,5 terhadap kesehatan manusia.
Hasil perhitungan ISPU parameter PM2,5 yang disampaikan kepada publik dengan standar kesehatan pernapasan manusia. KLHK membagi standar ISPU yang baik sampai berbahaya.
KLHK menyatakan jika udara baik jika ISPU berada di angka 1-50, yakni baik bagi pernapasan manusia, dengan simbol warna hijau.
Saat ISPU sudah melebihi 300, maka dinyatakan udara yang berbahaya yang dilambangkan dengan warna hitam. Peringatan warna hitam ini berarti berbahaya bagi pernapasan sehingga membutuhkan penanganan yang serius.
Baca Juga:Berikut Lahan-Lahan Konsesi Perusahaan di Sumsel Sumbang Hotpsot, Belum Ditindak?
Kawasan Gambut yang Membara
Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan Provinsi dengan luasan atau kawasan gambut yang tergolong besar. Luasan gambut Sumsel mencapai hampir 1,3 juta hektar (Ha) yang tersebar di 6 wilayah kota dan kabupaten di Sumsel.
Permasalahannya ialah lahan-lahan gambut yang seharusnya dijaga karena merupakan kawasan nan kaya karbon sekaligus keragaman hayati, cenderung terbebani izin konsesi perusahaan baik komoditas sawit, tebu maupun hutan kayu (HTI)
![Suasana kebakaran lahan gambut di Desa Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Kamis (4/6). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/06/05/15621-lahan-gambut-terbakar.jpg)
Kawasan gambut ini pun beragam kedalaman, semakin dalam kawasan tersebut maka kandungan senyawa karbonnya makin besar. Komposisi karbon yang besar menyebabkan kebakaran di kawasan tersebut sulit dipadamkan, sekaligus menghasilkan asap nan pekat.
Semakin dalam kawasan gambut, akan semakin besar kandungan karbon yang menjadi bahan/sumber api. Meski di kawasan gambut tipis juga menjadi kawasan yang mudah terbakar.
Idealnya kawasan gambut yang terbeban izin konsesi pun dijaga. Perusahaan-perusahaan yang sudah ‘kepalang’ mendapatkan izin di kawasan kubah-kubah gambut harus melakukan upaya perlindungan.