Ini Alasan Petani Sumsel Enggan Remajakan Kebun Karet: Harga Jual Kian Tak Menguntungkan

Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat menemukan solusi efektif untuk mengatasi ini demi keberlanjutan perkebunan karet Indonesia.

Tasmalinda
Rabu, 12 Oktober 2022 | 21:03 WIB
Ini Alasan Petani Sumsel Enggan Remajakan Kebun Karet: Harga Jual Kian Tak Menguntungkan
ilustrasi petani karet Sumsel. [ANTARA]

SuaraSumsel.id - Minat petani untuk meremajakan komoditas ini menurun seiring dengan harga jual yang tak sebanding dengan modal kerja.

Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi PPK Analisis Kinerja dan Prospek Komoditas Karet Alam Pusat Penelitian Karet Sumbawa Sumsel, Lina Fatayati Syarifa mengatakan peneliti menemukan kejadian ini dalam lima tahun terakhir di tiga provinsi yakni Sumsel, Jambi dan Riau.

“Petani karet melihat menanam sawit lebih menguntungkan kini karena harga lebih tinggi dan mudah diserap pasar,” kata dia dalam Konferensi Nasional Karet 2022 dengan tema “Optimasi Produksi dan Serapan Karet Alam Indonesia” di Palembang, Rabu.

Ia mengatakan sebenarnya pemerintah sudah memberikan solusi ke petani karet yang ingin melakukan peremajaan lahan agar tetap memiliki pendapatan, dengan cara beralih menanam kopi.

Baca Juga:Fakta-Fakta Kadus Dan Istri di Banyuasin Sumsel Tewas Dirampok: Harta dan Emas Ludes Digondol Pelaku

Dalam masa peremajaan kurang lebih lima tahun itu, dipastikan petani dapat tetap memperoleh pendapatan.

Tak banyak petani karet yang tertarik karena mereka seakan sudah tergiur untuk menanam kelapa sawit. Ia mengungkapkan sebenarnya penurunan harga karet ini sudah diperkirakan beberapa tahun lalu.

Ini terjadi akibat melambungnya harga karet pada 2005-2011 sehingga mendorong masyarakat untuk menanam tanaman karet.

Melansir ANTARA, saat ini tanaman karet sudah mencapai puncak produksi sehingga harganya terbilang rendah.

Pada tingkat petani hanya Rp8.000 hingga Rp10.000 per Kg untuk masa pengeringan (kadar karet kering) 50 persen.

Baca Juga:Sadis! Kadus Dan Istri di Banyuasin Sumsel Tewas Dengan Tangan Dan Kaki Diikat, Diduga Dirampok

Memang sudah ada upaya seperti membuat Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (Bahan Olahan Karet) untuk mengerek harga tapi bisa dikatakan masih juga belum sebanding dengan biaya kebutuhan hidup, kata dia.

Akibat semakin menurunkan peremajaan lahan membuat produktivitas lahan karet Indonesia semakin menurun. Saat ini rata-rata hanya 1 ton per hektare per tahun, padahal negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand sudah mencapai 2-3 ton per hektare per tahun.

Kondisi ini telah berimbas pada industri karet karena pabrik-pabrik mengalami kekurangan bahan baku dalam tiga tahun terakhir.

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Alex K Eddy dalam kesempatan yang sama mengatakan di tengah rendah produktivitas itu terdapat situasi yang lebih mengkhawatirkan yakni pelemahan penyerapan ekspor karet karena resesi di Eropa.

Jika pabrik ban tidak berproduksi maka siapa yang akan menyerap karet alam kita, kata Alex.

Selain itu, adanya negara-negara pesaing Indonesia yakni Thailand yang kini menyasar juga pasar Indonesia ke Amerika juga menjadi ancaman dalam situasi ini.

Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat menemukan solusi efektif untuk mengatasi ini demi keberlanjutan perkebunan karet Indonesia.

“Saat 2017 Indonesia bisa mengekspor 3,2 juta ton tapi kini hanya 2,9 juta ton,” kata dia.

Artinya, ada penurunan produksi dari sejak 2017 yang diduga karena adanya pengalihan ke pekebunan sawit. Saat ini produksi Sumsel hanya mampu di bawah 1 juta ton per tahun, padahal biasanya di atas 1 juta ton.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini