SuaraSumsel.id - Sosok masyarakat sipil lainnya yang berjasa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia di Sumatera Selatan (Sumsel) adalah Num Cik AR. Penulis Syair lagu Gending Sriwijaya mengukir peristiwa setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945.
Lima hari setelah peristiwa penting tersebut, Num Cik AR mengikuti pertemuan dengan pimpinan tentara Jepang di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam pertemuan tersebut, Jepang hanya memberi informasi pada kalangan pribumi bahwa pihak Jepang menyerah kepada sekutu.
Mereka tidak menyebutkan jika seiring dengan penyerahan Jepang tersebut, Indonesia pun sudah memproklamasikan kemerdekaan. “Pak Num Cik AR merasa tidak puas dengan hasil dari pertemuan tersebut lalu meminpin rapat dengan pemuda atau pejuang,” ujar Sejarawan Sumsel, Syafruddin.
Dari hasil rapat besar yang dipimpin langsung Num Cik AR, disepakatilah empat pernyataan politik atau empat sikap politik masyarakat Palembang. “Salah satunya adalah persoalan kemerdekaan tidak boleh dihalang-halangi,” tutur Syafrudin.
Baca Juga:Nekat Jual Alat Kesehatan Tanpa Izin, Pria di Palembang Terancam 15 Tahun Bui
Usai rapat tersebut, Num Cik AR menyampaikan kepada bala tentara Jepang mengenai empat pernyataan sikap politik dari pemuda Palembang. Kalangan pemuda Palembang bersungguh-sungguh dan rela mati demi kemerdekaan.
“Saya menilai Num Cik AR ini memiliki jiwa nasionalis dan patriotis yang begitu tinggi. Ia berani menghadapi pimpinan tentara Jepang yang saat itu masih berkuasa,” terang dia.
Keesokkan harinya, dengan inisiatif para pemuda membentuk susunan Pemerintahan Sumatera Bagian Selatan dengan AK Gani sebagai residen Palembang dan Abdul Rozak menjadi wakilnya.
“Kemudian, dalam susunan pemerintahan tersebut pak Num Cik AR ini ditenpatkan di bagian penerangan atau propaganda,” terang ia.
Dengan sikapnya yang sangat berani dan penuh tanggung jawab untuk menghadapi tentara Jepang pada kala itu.
Baca Juga:Rayakan HUT RI, 10.000 Bendera Merah Putih Dibagikan Gratis pada Warga Palembang
Namun sangat disayangkan, nama Num Cik AR juga tidak tercatat dalam banyak buku sejarah. Hal tersebut karena Num Cik AR beserta istrinya mengambil kiblat politik komunis.
Diketahui saat itu, Num Cik AR anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sementara istrinya merupakan bagian dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
“Karena yang diyakini menganut politik sayap kiri atau komunis, lalu keduanya ditangkap,” tutup Syafrudin Di sejumlah catatan sejarah pun, belum ditemukan makam atau kisah akhir sepasang suami istri pemberani ini.