SuaraSumsel.id - Gabungan Perusahaan Karet Indonesia atau Gapkindo Sumsel menyatakan terdapat dua pabrik berkapasitas 6.000 ton per bulan sudah gulung tikar. Padahal dua pabrik itu masing-masing memiliki tenaga kerja sekitar 200 orang.
Salah satu penyebabnya karena perusahaan tersebut kekurangan bahan baku, sehingga harus mengimpor dari luar negeri. Selain itu, perusahaan juga harus melakukan efesiensi dan pengurangan ship karyawan.
Ketua Gapkindo Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan kondisi kekurangan bahan baku sudah terjadi sejak petengahan tahun 2021 karena pabrik kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku dari petani.
Mereka pun terpaksa mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Myamar hingga negara dari Afrika.
Baca Juga:Operasi Pasar Digelar, Harga Minyak Goreng di Palembang Bertahan Rp19.000 per Liter
Alex mengatakan untuk tetap bertahan, pabrik karet harus mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup sesuai dengan kapasitas terpasang dari mesin olahan bokarnya.
Sejauh ini, rata-rata pabrik karet di Sumsel hanya mampu memanfaatkan 50-60 kapasitas terpasang.
“Pabrik dengan kapasitas sedang yakni 10.000 ton per bulan, bisa dikatakan sudah bagus jika mereka bisa mengolah 6.000 ton per bulan. Yang sulit ini pabrik dengan kapasitas 15.000 ton per bulan, terkadang hanya bisa 9.000 ton per bulan,” kata dia.
“Dengan begini saja masih sulit untuk bertahan. Bisa dikatakan untung sangat tipis sekali,” ujar dia.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan produksi karet Sumsel mengalami penurunan dari 1,1 juta ton pada 2020 menjadi hanya 900.000 ton pada 2021.
Baca Juga:Truk Tangki Air di Palembang Tabrak Pohon, Supir Luka Berat dan Terjepit
Penurunan ini diperkirakan disebabkan tiga faktor yakni menurunnya produktivitas kebun karena sudah berusia tua (belum diremajakan), menurunnya gairah petani untuk memanen karena harga yang rendah, hingga pengalihfungsian lahan karet menjadi lahan sawit. (ANTARA)