Padahal, kepemilikan sertifikat yang dimiliki warga hanya sebatas Hak Guna Bangunan alias HGB yang sudah habis massanya pada tahun 2013. HGB rumah susun tersebut hanya 20 tahun dan belum diperpanjang hingga saat ini.
Sehingga, Pemerintah melalui Perumnas juga sebenarnya tidak memiliki kewajiban memberikan ganti rugi kepada warga.
Menanggapi hal itu, Desi menolaknya. Menurut ia, warga belum bersedia pindah karena terlanjur nyaman tinggal di rusun yang letak strategis.
“Rusun itu strategis, kiri ada mal transmart, kanan ada pasar 25 ilir, ke depan ada mal juga, ke arah belakang dekat dengan Kambang Iwak, pusat alun-alun kota,” ungkapnya.
Baca Juga:Setuju Konsep Ancol Pulau Kemaro, Herman Deru: Sumsel Ini Haus Wisata
Desi yang sudah lama tinggal di Rusun tepatnya 1987, mengaku Rusun sudah menjadi bagian kehidupannya turun temurun bersama keluarga.
![Rumah Susun Palembang [Fitria/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/04/22/10341-rumah-susun-palembang-fitriasuaracom.jpg)
Pada 34 tahun silam, Desi membeli rusun hanya seharga Rp 10 juta untuk tipe 54. Ia membayar secara bertahap dengan cicilan hanya Rp 87.000 perbulan selama 15 tahun. Fasilitas yang ia dapat pun sama seperti rumah pada umumnya, listrik dan air bersih dari PDAM.
“Setelah membayar sebanyak itu, saya jelas tidak setuju rusun dibongkar tanpa ganti rugi. Tentu kami juga akan melawan,” cetusnya.
Ia mengungkapkan selama fasiltas air dan listrik masih tersedia menjadi alasan untuk tinggal di rusun.
“Jika ada yang kumuh dan kotor, maka bersihkan di rumah kita saja masing-masing. Terpenting rumah kita yang bersih, jika kumuh di tempat lain, juga bukan urusan kita,” terangnya.
Baca Juga:Kasus Perawat Dianiaya, PPNI Sumsel: Kasus Hukum Diteruskan Meski Memaafkan
Sementara untuk mempercantik bangunan yang ditempati, ia juga sering mengecatnya agar terlihat tidak telalu kumuh.“Mungkin Pemerintah tengah mencari investor besar guna merevitalisasi rusun,” ujarnya optimis.
Kontributor: Fitria.