SuaraSumsel.id - Pembangunan kantor Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) di Keramasan, Kertapati, Palembang ditolak oleh penggiat dan aktivis lingkungan.
Mereka menilai pembangunan kawasan terpadu yang dipaksakan akan merugikan karena dibangun saat situasi pandemi di mana anggaran lebih dibutuhkan bagi pennanggulangan situasi wabah sekaligus bantuan kepada masyarakat sekaligus lahan yang dipergunakan ialah rawa gambut yang dipergunakan bagi lahan pertanian.
Pembangunan Kantor yang telah dimulai pada Oktober 2020 dan ditargetkan selesai pada 2023 dengan menggunakan sumber anggaran multi year dari APBD Provinsi.
Untuk tahun pertama 2020 lalu diketahui telah dilakukan penimbunan rawa dan pemagaran lahan, dana yang digelontorkan sebesar kurang lebih Rp. 150 Miliar.
Baca Juga:Setelah Vaksinasi Pedagang, Guru di Sumsel Bersiap Disuntik Vaksin Covid 19
“Pembangunan ini kami nilai sangat tidak sensitif atau sangat bertentangan terhadap kondisi ekonomi masyarakat Sumsel saat ini yang terpuruk akibat pandemi Covid 19,” ungkap Juru Bicara Komite Bersama (Kombes) untuk Keadilan Ekologi, Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko dilansir dari Fornews - jaringan Suara.com, Kamis (4/1/2021).
Apalagi, Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional baru-baru ini telah memasukan Sumsel di urutan ke-10 provinsi termiskin di Indonesia.
Sumsel mengantongi angka kemiskinan naik dari 12,56 persen (2019) menjadi 12,98 persen (2020).
Menurutnya, upaya korektif terhadap kebijakan mengatasi kemiskinan ini harus menjadi agenda utama Pemprov Sumsel saat ini.
Hal lain yang menjadi sorotan komite adalah, pembangunan kantor terpadu tersebut berada di kawasan rawa dan dipergunakan bagi pertanian pangan masyarakat.
Baca Juga:Status Siaga Ditetapkan Lebih Cepat, Desa Rawan Karhutla Sumsel Menurun
Direktur Perkumpulan Lingkar Hijau ini menyebutkan, penimbunan rawa kurang lebih seluas 90 hektar akan membuat hilangnya wilayah resapan air alami (rawa) Kota Palembang.
Dari catatan Walhi Sumsel, tahun 2018 lalu luas rawa tidak lebih dari 2,3 ribu hektar.
Luas tersebut bahkan sudah jauh menyusut dari tahun 2015 yang luasnya mencapai 5 ribu hektar atau 25 persen dari luas rawa Kota Palembang.
“Saat ini saja berdasarkan data yang dihimpun telah terdapat 37 titik banjir di kota Palembang. Kalau aktivitas penimbunan rawa yang luasnya mencapai 40 Hektar itu terus dilakukan akan menyebabkan bertambahnya wilayah banjir,” ulas Hadi.
Penimbunan rawa ini diduga melanggar aturan dibuat oleh Pemerintah, salah satunya Perda No 11 tahun 2012 tentang Pembinaan, Pengendalian, dan Pemanfaatan Rawa Kota Palembang. Pada Pasal 5 ayat 2 menyebutkan struktur bangunan di atas rawa adalah struktur rumah bertiang tanpa dilakukan penimbunan atau reklamasi.
“Kombes untuk Keadilan Ekologis Sumsel meminta Pemprov Sumsel untuk menghentikan pembangunan kantor terpadu di Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati yang sangat eksploitatif terhadap lingkungan hidup. Hentikan juga aktivitas penimbunan rawa yang selama ini berfungsi sebagai resapan air alami Kota Palembang di lokasi pembangunan itu,” tegas Hadi.
Kombes untuk Keadilan Ekologis Sumsel yang terdiri dari Perkumpulan Lingkar Hijau, Pospera Sumsel, dan POHI juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian terkait (KLHK) untuk segera melakukan audit lingkungan, program dan keuangan terhadap pembangunan kantor terpadu Provinsi Sumsel.