SuaraSumsel.id - Sumatera Selatan dinilai memiliki potensi yang besar sebagai penyangga pangan nasional.
Setidaknya, tiga kabupaten di Sumatera Selatan telah mampu menghasilkan padi sebagai pemasok kebutuhan beras di Pulau Sumatera kecuali untuk Provinsi Aceh dan Sumatera Utara
Hal ini disampaikan Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Badan Pusat Statistik, Kadarmanto saat menyampaikan materi berjudul Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan Sumatera, Tinjuan Peta Potensi Pangan Strategis yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan, Jumat (16/10/2020)
Dalam webinar bertema Peta Potensi Pangan Strategis Sumatera Selatan Mengamankan Lumbung Pangan di Masa Pandemi, Kadarmanto menyampaikan provinsi Sumatera Selatan menjadi sentra penghasil padi bersama dengan provinsi lainnya seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Baca Juga:Alhamdulilah, Harga Karet Sumsel Diprediksi Naik Sampai Akhir Tahun Ini
Tiga kabupaten di Sumatera Selatan yang menjadi penyokong komoditas beras yakni Banyuasin yang berada di urutan empat besar, Oku Timur yang berada di urutan 14 besar dan Ogan Komering Ilir yang berada di urutan 23 besar.
Kabupaten Banyuasin memiliki produksi 527.294 ton GKG, sedangkan OKU Timur, 359.347 ton GKG, dan Ogan Komering Ilir sebesar 293.183 ton GKG.
Meski menjadi daerah sentra penghasil beras, ternyata Sumatera Selatan juga mengimpor beras dari daerah tetangga.
“Ada beras masuk dari Jawa Tengah, Lampung, Jawa Barat, Bengkulu ke Sumsel. Hal ini yang juga perlu diperhatikan Pemda, karena Sumsel juga dihadapkan pada tantangan wilayah geografis yang luas,” ulasnya.
Pada point kesimpulan lainnya, Kadarmanto menyampaikan terjadi kompetisi lahan sawah dengan sawit di kabupaten sentra produksi padi. Tantangan ke depan, ialah mempertahankan dan meningkatkan keberlanjutan produksi beras dengan trategis peningkatan produksi pada daerah yang bukan menjadi sentra beras.
Baca Juga:Petahana Ilyas Panji Didiskualifikasi, Pengamanan Ogan Ilir Dipertebal
“Ada kompetisi ini, antara sawit dan sawah. Di Sumsel, sawit lebih luas dibandingkan sawah,” tutup ia.
Saat mendapatkan penjelasan ini, Gubernur Herman Deru langsung menanggapi.
Menurut dia, mengapa luasan sawah kalah dibandingkan sawit maka jawabannya sangat sederhana.
Karena sawit lebih banyak disokong oleh perusahaan bermodal sedangkan sawah ialah milik petani-petani yang masih membutuhkan modal.
“Belum lagi petani dihadapkan pada kondisi yang bankable yakni suatu kondisi di mana petani tidak memenuhi syarat mendapatkan permodalan. Saya belum banyak dengar bank bantu petani cetak sawah. Maka di sinilah peran Pemerintah,” terang ia.
Dia menjelaskan di komoditas sawit memang terdapat petani, namun tidak mayoritas seperti halnya petani yang memiliki sawah. Di perkebunan, masyarakat menjadi pekerja atau pemilik pinggiran.
Potensi produksi sawah Sumsel memang sangat tinggi, namun permodalan yang kerapn menjadi kendala.
“Saya saat jadi bupati, sudah ada Peraturan Daerah (Perda) di kabupaten, menolak alih fungsi sawah. Pertanian padi juga yang membawa saya mendapatkan penghargaan karena mengurangi angka kemiskinan,” tutup ia.