Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 01 Juni 2025 | 15:11 WIB
Rektor Universitas Bina Darma tersangka kasus penggelapan Rp38 miliar

SuaraSumsel.id - Rektor Universitas Bina Darma Palembang, Prof Dr Sunda Ariana, MPd, MM, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.

Ia diduga terlibat dalam kasus penggelapan dana yayasan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai fantastis, mencapai Rp38 miliar.

Penetapan status hukum ini langsung direspons dari pihak kampus.  Melalui kuasa hukum Rektor, mereka menilai bahwa langkah yang diambil oleh Bareskrim terkesan dipaksakan dan kurang berdasar.

Tak hanya sang rektor, YK selaku Direktur Keuangan UBD juga turut ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang tengah menyita perhatian publik ini.

Baca Juga: Rektor Universitas Bina Darma Diduga Gelapkan Rp38 Miliar, Kini Ditetapkan Tersangka?

Penetapan Prof Dr Sunda Ariana sebagai tersangka tercantum dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/043/V/RES.1.11/2025/Dittipideksus, yang ditandatangani langsung oleh Brigjen Pol Helfi Assegaf, SIK, MH pada 21 Mei 2025.

Kasus ini mencuat dari laporan Suheriyatmono, pemilik atas beberapa bidang tanah yang sejak tahun 2001 disewa oleh Yayasan Bina Darma untuk pembangunan kampus UBD.

Perseteruan yang awalnya bersifat perdata itu kini berkembang menjadi perkara pidana bernilai puluhan miliaran rupiah.

Kuasa hukum rektor Universitas Bina Darma, Reinhard Richard A. Wattimena, SH, turut membenarkan bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri.

"Bahwa benar klien kami atas nama Sunda Ariana selaku Rektor UBD oleh penyidik dittipideksus ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana tindak pidana yg dimaksud," ujarnya dihubungi Suara.com, Minggu (1/6/2025).

Baca Juga: Kerupuk Kemplang Menyapa Dunia: Live Shopping, Irama Baru UMKM Menaklukkan Era Digital

Menurut tim kuasa hukum, langkah penyidik Dittipideksus dalam menetapkan Prof Dr Sunda Ariana sebagai tersangka dinilai terlalu subjektivitas dan terkesan dipaksakan.

Mereka menyoroti bahwa hingga kini belum ada putusan hukum perdata yang berkekuatan tetap (inkracht) terkait sengketa kepemilikan tanah yang menjadi pokok perkara.

"Seharusnya penyidik menunggu kepastian hukum perdata sebelum melangkah ke proses pidana," ujar kuasa hukum, menegaskan bahwa penetapan tersangka dalam kondisi seperti ini rawan menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum.

"Atas tindakan tersbut Klien kami merupakan korban dari sistem peradilan pidana yg tidak fair," sambungnya.

Mereka menyebut banyak kejanggalan dan ketidaksesuaian fakta dalam proses penyelidikan, yang berujung pada penerapan hukum secara sepihak dan terkesan dipaksakan.

Secara singkat, sengketa kepemilikan lahan antara Yayasan Bina Darma dan ahli waris sebelumnya telah menempuh jalur perdata hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Load More