Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Kamis, 08 Mei 2025 | 22:46 WIB
sidang kabut asap Sumatera Selatan

SuaraSumsel.id - Perjalanan panjang gugatan perdata terkait kabut asap di Sumatera Selatan kini memasuki tahap krusial. Sebelas warga yang menggugat tiga korporasi besar kayu yang berada di bawah kendali Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).

Perusahaan tersebut yakni PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries—akhirnya menghadirkan dua saksi ahli pamungkas di Pengadilan Negeri Palembang.

Mereka adalah Muhammad Dimyati, guru besar di bidang ilmu penginderaan jauh dan lingkungan dari Universitas Indonesia, serta Asmadi Saad, pakar gambut dari Universitas Jambi.

Kedua ahli ini memberikan keterangan ilmiah dan teknis mengenai kerusakan lahan gambut yang berujung pada bencana kabut asap di wilayah konsesi tergugat.

Baca Juga: Lapas Muara Beliti Over Kapasitas 3 Kali Lipat, Ini Pemicu Kerusuhan Hebat

Data Satelit Ungkap Jejak Kabut Asap Korporasi

Dimyati memaparkan data mencengangkan dari citra satelit yang merekam jejak kabut asap dari area konsesi tergugat dalam tiga periode besar kebakaran: 2015, 2019, dan 2023.

Berdasarkan analisis spasialnya, tercatat sekitar 473 ribu hektare lahan terbakar di area konsesi, yang mencakup 92 persen dari total kebakaran di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Sungsang-Sepucuk-Sungai Lumpur (SSSL) antara tahun 2001 hingga 2020.

Yang lebih mencengangkan, 46 persen kebakaran—sekitar 217 ribu hektare—terjadi hanya dalam kurun waktu lima tahun (2015-2020).

Bahkan, kebakaran berulang teridentifikasi di wilayah seluas 175 ribu hektare.

Baca Juga: Situasi Terkini Lapas Narkoba Muara Beliti Setelah Kericuhan: 500 Personel Dikerahkan

Dimyati menegaskan, "Dengan pendekatan spasial, sebaran dan pola kabut asap atau dampak dari kebakaran gambut dapat dengan mudah dilihat. Ini bukan kebetulan."

Ahli Gambut: “Jangan Nilai Gambut dari Hasil Tanam Saja”

Sementara itu, Asmadi Saad menekankan bahwa kebakaran lahan gambut berulang bisa terjadi akibat kelalaian pengelolaan, terutama ketika pemilik lahan gagal melakukan pemulihan pascakebakaran.

Menurutnya, pembiaran inilah yang menjadi celah bencana. Ia juga mengingatkan pentingnya menghargai fungsi ekologis gambut.

“Janganlah kita menilai gambut dari nilai hasil tanamannya saja, tetapi lihatlah juga kerugian dari hilangnya biodiversitas yang memperparah krisis iklim,” tegasnya.

Greenpeace Desak Restorasi dan Larangan Pembakaran Ulang

Load More