Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 31 Januari 2022 | 22:08 WIB
Petugas dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan berjalan didekat spanduk himbauan untuk memakai masker di rumah sehat COVID-19 wisma atlet. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.

SuaraSumsel.id - Menjelang matahari terbenam kala itu, suhu tubuhnya meningkat drastis. Suhu tubuh yang tidak seperti biasa dirasakan. Sesekali ia merasakan, perasaan gelisah hingga pusing kepala.

Namun kewajiban mengirim teks berita tetap ditunaikan sebagai kewajiban pekerja. Ia pun memilih tidak memberitahukan teman redaksi lainnya jika kondisi tubuhnya melemah, karena berharap tubuhnya masih bisa kuat.

Setelah hampir lebih dua jam bergelut dengan rutinas usai menjalani meliput, harapan tersebut kian jauh. Tubuhnya kini merasa dingin, terasa makin tak nyaman.

Saat malam hari, tubuhnya malah menggigil. Sang istri pun berusaha membantu menghilangkan rasa sakit tersebut dengan berbagai cara. Menyiapkan air hangat, memberikan obat penahan rasa sakit hingga memberikan selimut berlapis tebal.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Sumsel Senin 31 Januari 2022, Waspada Hujan Petir

Pagi harinya, dengan ditemani sang istri, ia lebih memilih pergi berobat ke dokter jaminan BPJS Kesehatan yang diberikan kantor. Dia pun mengurungkan niat untuk meliput seperti hari-hari pada biasanya.

“Permasalahan dimulai, karena saat ingin sekali berobat, dokternya tidak ada dan harus menunggu. Padahal, niat awalnya hanya minta rujukan. Tubuh sudah semakin terasa berat,” ujar pewarta di Palembang, Sumatera Selatan ini menceritakan kisahnya sebagai penyintas COVID-19 di tahun lalu.

Dengan kesepakatan istri, akhirnya ia memilih pengobatan mandiri, agar cepat mendapatkan layanan kesehatan dan mengetahui penyebab dari rasa sakit yang begitu tidak terkendali tersebut. Dengan bersepakat dengan istri serta demi menjaga kesehatan anggota keluarga lainnya, pewarta di media lokal Palembang ini memilih berobat mandiri.

Tentu mengeluarkan pos anggaran yang tidak terduga, yang sudah dipersiapkan saat menerima penghasilan. “Meski harus juga mengalihkan pos anggaran wajib lainnya,” sambung pewarta yang meminta namanya tidak disebutkan dengan jelas sebagai narasumber.

Sebut saja, dia pewarta A. Baru kemudian, di dokter dengan biaya mandiri ini, dia mengetahui jika sudah terpapar virus yang tengah mewabah di kotanya.

Baca Juga: Suhu Udara di Sumsel Alami Peningkatan Sampai 33 Derajat Celcius

Penyebaran virus yang beberapa kali menjadikan kota Palembang, Sumatera Selatan selalu berzona merah. Dia kemudian baru menyadari, aktivitas liputannya kerap mendatangi zona merah penyebaran virus. Misalnya sepekan sebelum diketahui terpapar COVID-19, dia mendatangi rumah sakit.

Karena mendapatkan penugasan di desk kriminalitas, rumah sakit dan beberapa tempat publik kemudian menjadi harus didatangi. Tidak lain, tujuannya mendapatkan fakta dari berita yang diliputnya.

Dikatannya, saat semua elemen Pemerintah mendorong mengalihkan pertemuan dengan jurnalis menjadi virtual, maka hal tersebut sulit dilakukan oleh jurnalis di desk kriminal.

Para jurnalis yang berada di desk kriminal, apalagi yang di wilayah kerja seperti halnya kepolisian resort kota (Polrestabes), harus mendatangi lokasi kejadian, rumah sakit untuk mencari korban atau pelaku sekaligus juga mendatangi lokasi publik lainnya, seperti ruang pengadilan.

Saat di lokasi-lokasi tersebut sangat tidak mungkin, mengharapkan adanya informasi yang lengkap dibagikan secara virtual melalui perangkat elektronik berteknologi.

“Misalnya harus mewawancarai keluarga korban, semisal adanya kejadian kejahatan. Harus mendatangi lokasi kejadian, bertemu dan mewawancarai warga sekitar, belum lagi misalnya ada berita di Pengadilan, di Lapas, atau lokasi publik lainnya,” aku pewarta A.

Demi melindungi anggota keluarga lainnya, terutama anak yang balita, pewarta A memilih isolasi mandiri. Isolasi dilakukan di wisma atlet Palembang, Sumatera Selatan.

“Bersyukurnya, hasil tes istri negatif COVID-19, sehingga masih ada yang jaga tiga anak di rumah. Ini perjuangan juga, karena tidak bisa menemani istri menjaga si bungsu yang masih balita,” ungkap dia.

Belum lagi, selama harus isolasi mandiri tentu mempengaruhi produktivitas kerja. 

“Mulanya saya khawatir memberitahu kantor, namun saya pilih agar umumkan perihal sakit saya ini pada kantor dan pimpinan, karena berharap teman-teman yang pernah kontak dengan saya pun, bisa memeriksakan diri. Kasian juga misalnya mereka juga ada anak-anak balita atau keluarga rentan virus COVID-19. Waktu itu kalut juga, bingung, namun tetap harus bertahan,” aku pewarta A.

Diakuinya, dia adalah penyintas kedua di kantor. Setelah mengumumkan mengenai kondisinya, kantor pun mengubah pola kerja para karyawan.

Sebelumnya, kantor masih mengharuskan pekerja masuk dan mengabsen setiap hari. “Setelah ada yang terpapar COVID-19, kantor akhirnya lockdown dan kami, Work From Home (WFH). Meski bagi yang mereka (jurnalis) untuk benar-benar WFH tersebut sulit. Ada situasi yang belum bisa mendukung untuk WFH, baik karena tuntutan kerja, dan situasi lainnya,” terang dia.

Meski kantor pun sebelumnya, sudah memberikan perlindungan pada pekerjanya dengan memberikan masker dan sabun pencuci tangan (hand sanitizer).

“Namun ‘kan jika dihitung-hitung, pengeluaran keluarga saat pandemi COVID-19 juga bertambah. Anak-anak jugai beli masker, sabun pencuci tangan, beli face shield, beli kuota internet, beli vitamin. Hitungannya bukan sendiri, sebagai pekerja,” ungkap dia.

Belum lagi, menghadapi stigma masyarakat tetangga. Pewarta senior ini mengenang bagaimana dirinya dan keluarga sempat sempat mengalami pengalaman buruk dari Ketua RT.

Ketika itu, sosialisasi mengenai COVID-19 memang belum begitu masif sehingga masyarakat menilai virusnya seperti aib. “Sempat malah RT-nya tidak membantu, seolah sakit COVID-19 aib. Pada anak-anak, keluarga dan warga pun saya jelaskan setelah dari isolasi mandiri,” ujarnya.

Perjuangan melindungi keluarga, menjalani profesi, serta bagaimana memanajemen psikologis sebagai seorang penyintas adalah perjuangan ganda yang mesti dilalui.

Diungkapkannya, perusahaan tempat, ia bekerja pun melakukan perbaikan sistem kerja. Sampai dengan Januari 2022 ini, sistem absensi wajib masuk ke kantor juga telah diubah. Untuk pekerja di bidang redaksi, kewajiban hadir hanya dengan kapasitas hanya 35 persen hingga 50 persen.

Sedangkan untuk yang bidang non redaksi juga disesuaikan kebutuhan unit usaha. 

“Sejak pengalaman ada pekerja yang menjadi penyintas, perusahaan kini lebih care (peduli). Di perusahaan kami pun digelar vaksin dengan dua program, yakni mandiri dan bekerja sama dengan Satgas dan Dinas Kesehatan,” terang pewarta A yang kini juga lebih mengetahui bagaimana pemenuhan hak pekerja saat COVID-19.

Mengenai pewarta yang terpapar COVID-19, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palembang, Prawira Maulana mengungkapkan sebagai organisasi profesi, AJI pun mendata anggota yang terpapar COVID-19.

Data terakhir, terdapat empat anggota AJI Palembang yang menjadi penyintas COVID-19.  Mereka terpapar, karena aktivitas jurnalistik dan ada pula tertular bukan saat menjalankan profesinya. 

“Tantangan jurnalis makin berat, saat pandemi COVID-19. Perjuangan ganda sangat dibutuhkan guna melindungi diri, keluarga, dan tetap mampu menjalankan profesinya. Fungsi jurnalis menjadi ganda, bagaimana ia menyikapi saat terpapar dan menjadi pasien, harus menjadi penyintas dan mengajak teman-teman jurnalis lainnya lebih melindungi diri, sekaligus terpenuhi hak-haknya,” terang Prawira.

Sejauh ini, kata Prawira, AJI Palembang belum menerima laporan ada hak-hak jurnalis sebagai pekerja yang tidak terpenuhi oleh perusahaan media. “Meski mungkin, jurnalisnya juga enggan share (berbagi), pengalamannya,” kata Prawira.

Ketua Divisi Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Ocha Mariadi menambahkan, saat situasi COVID-19, jurnalis menghadapi permasalahan yang akhirnya juga mempengaruhi psikologis. 

Karena itu, selain bantuan tunai yang diberikan, AJI pun memberikan dampingan psikologis pada jurnalis yang menjadi korban COVID-19.

“Khawatiran jurnalis, saat pandemi COVID-19, meningkat. Selain sistem kerja yang kemudian harus menyesuaikan situasi, belum lagi kekhawatiran jika kondisi perusahaan terdampak pandemi COVID-19, seperti khawatir di-PHK, pemutusan kontrak, pemotongan gaji, sehingga AJI pun berusaha memberikan pendampingan psikologis-nya,”kata Ocha saat mengisi workshop AJI dan ILO, pekan lalu.

Sementara situasi pandemi COVID-19 diungkapkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Selatan menjadi kejadian yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. 

Situasi yang membuat pengusaha pun memilih alternatif guna meminimalisir resiko.“Namun baik pengusaha, atau pengusaha skala UMKM atau UKM tetap didorong melindungi pekerjanya,” harap Ketua Apindo Sumsel, Sumarjono Saragih, pada pekan kegiatan Sumsel Marketing, belum lama ini.

Tulisan ini mengikuti lomba yang diselenggarakan AJI Indonesia.

Load More