Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 12 Februari 2021 | 15:49 WIB
Warga keturunan Tionghoa bersiap untuk bersembahyang malam Tahun Baru 2752 di Klenteng Hok Lay Kiong, Margahayu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (11/2/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto] Sejarah asal masyarakat Tionghoa Palembang, Melintas Selat Bangka Baru Palembang

Kemudian terjadi migrasi warga Tionghoa ke nusantara secara besar-besaran mulai dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19. Mereka yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan adalah suku bangsa Hokkien yang 50 persen dari mereka adalah pedagang,

"Selebihnya bekerja sebagai petani dan nelayan tergantung di mana mereka tinggal," sambung Kemas.

Sedangkan yang berasal di propinsi Kwantung yaitu orang Hakka yang sebagian menjadi pengusaha industri kecil dan bekerja di pertambangan.

Orang-orang Teo-Chiu kebanyakan bekerja sebagai petani sayur-sayuran dan menjadi kuli-kuli perkebunan di daerah daerah perkebunan. 

Baca Juga: Pengamanan Puluhan Klenteng dan Vihara di Palembang Diperketat

Orang-orang Tionghoa (Teo Chiu) di Palembang dikenai dengan panggilan Cina Kebon. Hal ini sesuai pekerjaan yang ditekuni oleh sebagian besar orang-orang China dan latar belakang sejarah mereka yang pada mulanya didatangkan sebagai petani perkebunan di Sumatera Timur.

Orang-arang Kwong Fu di Pulau Jawa lebih dari 40 persen menjadi pengusaha dan pemiiik industri kecil dan perusahaan dagang hasil bumi.

Rumah rakit warga Tionghoa di Palembang [dok. Kemas Panji]

"Di pulau Bangka mereka sebagai pekerja tambang, sedangkan di Palembang mereka bekerja sebagai tukang di perindustrian, dan mereka yang tinggal di rakit disebut dengan Cina Rakit," kata ia.

Berpindahnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara atau Palembang berhubungan erat dengan jalur pelayaran tradisional yang sangat tergantung pada hembusan angin muson.

"Menurut Van Leur bahwa jalur pelayaran atau perdagangan selain berdampak terhadap perdagangan (perekonomian) juga berdampak terhadap kondisi sosial, budaya dan agama," sambungnya.

Baca Juga: Srikaya Palembang Bisa Jadi Menu Sarapan, Ini Resepnya

Rute perjalanan biasanya memutar, berangkat dari dari negeri Cina, menyusuri pesisir Indo China, Thailand, semenanjung Melayu, Tumasik/Singapura.  

Sampai di sini rute peiayaran terpecah menjadi dua, yakni menuju Asia Tengah dan ke arah selatan, rute ke selatan akan menyusuri Pulau Sumatera melalui Selat Bangka, pesisir utara Pulau Jawa hingga Surabaya dan Madura.

Rute perjaianan pulang bertolak dari timur Pulau Jawa, menyeberangi laut Jawa, Selat Karimata, menyusuri Kalimantan Barat, Brunei, menyeberang ke Palawan, Luzon. dam Taiwan kemudian kembali ke daratan China.

Pada masa awal para imigran terdiri dari para pedagang yang ikut serta dalam rombongan atau utusan kekaisaran China yang melakukan perjalanan muhibah untuk meninjau wilayah taklukan dan daerah yang mengakui pertuanan China sebagai penguasa perairan. 

"Meskipun pada awalnya mereka tidak berniat mati di daerah perantauan, namun mereka dinilai telah melanggar ajaran kepercayaan Xiao dan Zhong. Mereka dianggap sebagai kaum yang terbuang, di mata hukum mereka dianggap sebagai pelarian politik yang melanggar undang undang negara dengan ancaman hukum pancung bila kembali ke kampung halaman," terang ia.

Sikap politik seperti ini telah dilaksanakan sejak zaman Kekaisaran Ming pada masa pemerintahan kaisar Tai-Tsu yang menerapkan politik isolasi dalam usaha melindungi negerinya.

Load More