Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 12 Februari 2021 | 15:49 WIB
Warga keturunan Tionghoa bersiap untuk bersembahyang malam Tahun Baru 2752 di Klenteng Hok Lay Kiong, Margahayu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (11/2/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto] Sejarah asal masyarakat Tionghoa Palembang, Melintas Selat Bangka Baru Palembang

SuaraSumsel.id - Hadirnya masyarakat Tionghoa di Palembang hampir sama dengan warga Tionghoa yang ada di seluruh wilayah nusantara. Mereka datang karena adanya hubungan dengan China tempo dulu, baik hubungan perdagangan, politik, maupun adanya migrasi besar-besaran dari wilayah tersebut.

Sejarawan Kiemas Ari Panji merangkum sejarah masyarakat Tionghoa di Palembang. Kata ia, berdasarkan catatannya, hal-hal yang mendorong terjadi migrasi masyarakat China ke nusantara ialah sebagian masyarakat di negeri China terutama bagian selatan tidak mau mengakui pemerintah Khubllai Khan dari bangsa Mongol atau Dinasti Mancu yang menguasai China.

"Alasan kedua sering terjadi kerusuhan, terutama selama masa perpindahan kekuasaan Dinasti Ming ke Dinasti Manchu," katanya kepada Suarasumsel.id, Jumat (12/2/2021).

Alasan lainnya, ialah faktor kesulitan ekonomi, yakni kemiskinan yang diderita sebagian besar rakyat China, sehingga mereka berusaha mendapatkan penghidupan yang layak.

Baca Juga: Pengamanan Puluhan Klenteng dan Vihara di Palembang Diperketat

"Alasan lainnya terjadinya perang Candu pada tahun 1850-1860," sambung ia.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa terjadi migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara dan Palembang khususnya, sebagai akibat sering terjadinya kerusuhan di negeri Cina yang berdampak luas.

"Orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari berbagai kelompok suku bangsa di Negeri China," ucapnya.

Begitu pula dengan masyarakat Tionghoa yang ada di Palembang yang berasal dari beberapa propinsi di Cina antara lain propinsi Kwantung, Fukien, dan Kanton.

Orang Tionghoa yang berasal dari propinsi Kwantung adalah suku bangsa Teo-Chiu dan Hakka yang tinggal di daerah pantai selatan China dan daerah pedalaman Swatow bagian timur.

Baca Juga: Srikaya Palembang Bisa Jadi Menu Sarapan, Ini Resepnya

Sedangkan yang berasal dari propinsi Fukien ialah suku bangsa Hokkien, dan yang berasal dari propinsi Kanton ialah suku bangsa Kwong Fu yang tinggal di daerah sebelah barat dan selatan dari propinsi Kwantung.

"Gelombang kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia waktunya tidak bersamaan, tergantung situasi perkembangan politik yang ada di negeri asal mereka maupun di daerah rantauan (Indonesia)," ucap ia.

Hal ini dapat lihat dari catatan sejarah Dinasti Ming buku 324: Ying Yai Shel Lan yang mencatat tentang suasana di Palembang dan dikutip oleh Hanafiah (1995: 102) yaitu: ....

Kapal-kapal dari semua penjuru dalang kemari: pertama mereka akan mencapai muara air tawar dan kemudian memasuki P'engchia Selat Bangka. Mereka menambatkan kapa-kapal mereka ke pantai, di mana sangat banyak tiang-tiang bata di pantai, kemudian mereka mempergunakan kapal-kapal kecil untuk memasukl muara, kemudian mereka mencapai lbukota. Banyak dari penduduk dari negeri ini adalah orang-orang dari propinsi Kwantung dan dari Chang Chou dan Chuan Chou yang melarikan diri dan sekarang tinggal di negeri itu.

Dari kutipan di atas, kata Kemas Aji, ditafsirkan bahwa Jalur yang dilalui oleh orang-orang Tionghoa untuk datang ke Nusantara dan Palembang pada khususnya, melalui Jalur perdagangan atau transfortasi laut yang ada pada masa itu.

Sebelum mencapai Palembang mereka transit terlebih dahulu di pulau Bangka, yang merupakan pintu gerbang menuju ke ibukota Palembang.

Kemudian terjadi migrasi warga Tionghoa ke nusantara secara besar-besaran mulai dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19. Mereka yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan adalah suku bangsa Hokkien yang 50 persen dari mereka adalah pedagang,

"Selebihnya bekerja sebagai petani dan nelayan tergantung di mana mereka tinggal," sambung Kemas.

Sedangkan yang berasal di propinsi Kwantung yaitu orang Hakka yang sebagian menjadi pengusaha industri kecil dan bekerja di pertambangan.

Orang-orang Teo-Chiu kebanyakan bekerja sebagai petani sayur-sayuran dan menjadi kuli-kuli perkebunan di daerah daerah perkebunan. 

Orang-orang Tionghoa (Teo Chiu) di Palembang dikenai dengan panggilan Cina Kebon. Hal ini sesuai pekerjaan yang ditekuni oleh sebagian besar orang-orang China dan latar belakang sejarah mereka yang pada mulanya didatangkan sebagai petani perkebunan di Sumatera Timur.

Orang-arang Kwong Fu di Pulau Jawa lebih dari 40 persen menjadi pengusaha dan pemiiik industri kecil dan perusahaan dagang hasil bumi.

Rumah rakit warga Tionghoa di Palembang [dok. Kemas Panji]

"Di pulau Bangka mereka sebagai pekerja tambang, sedangkan di Palembang mereka bekerja sebagai tukang di perindustrian, dan mereka yang tinggal di rakit disebut dengan Cina Rakit," kata ia.

Berpindahnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara atau Palembang berhubungan erat dengan jalur pelayaran tradisional yang sangat tergantung pada hembusan angin muson.

"Menurut Van Leur bahwa jalur pelayaran atau perdagangan selain berdampak terhadap perdagangan (perekonomian) juga berdampak terhadap kondisi sosial, budaya dan agama," sambungnya.

Rute perjalanan biasanya memutar, berangkat dari dari negeri Cina, menyusuri pesisir Indo China, Thailand, semenanjung Melayu, Tumasik/Singapura.  

Sampai di sini rute peiayaran terpecah menjadi dua, yakni menuju Asia Tengah dan ke arah selatan, rute ke selatan akan menyusuri Pulau Sumatera melalui Selat Bangka, pesisir utara Pulau Jawa hingga Surabaya dan Madura.

Rute perjaianan pulang bertolak dari timur Pulau Jawa, menyeberangi laut Jawa, Selat Karimata, menyusuri Kalimantan Barat, Brunei, menyeberang ke Palawan, Luzon. dam Taiwan kemudian kembali ke daratan China.

Pada masa awal para imigran terdiri dari para pedagang yang ikut serta dalam rombongan atau utusan kekaisaran China yang melakukan perjalanan muhibah untuk meninjau wilayah taklukan dan daerah yang mengakui pertuanan China sebagai penguasa perairan. 

"Meskipun pada awalnya mereka tidak berniat mati di daerah perantauan, namun mereka dinilai telah melanggar ajaran kepercayaan Xiao dan Zhong. Mereka dianggap sebagai kaum yang terbuang, di mata hukum mereka dianggap sebagai pelarian politik yang melanggar undang undang negara dengan ancaman hukum pancung bila kembali ke kampung halaman," terang ia.

Sikap politik seperti ini telah dilaksanakan sejak zaman Kekaisaran Ming pada masa pemerintahan kaisar Tai-Tsu yang menerapkan politik isolasi dalam usaha melindungi negerinya.

Kemudian, kata Kemas, kemudi diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Manchu dengan sikap yang lebih keras lagi.

"Apapun dampak yang timbul dari kejadian ini menyebabkan terbentuknya pemukiman Tionghoa perantauan di luar wilayah Cina. Kemudian para imigran Cina ini memperukuat ikatannya dengan pedagang-pedagang lokal hingga para elite penguasa, termasuk pedagamg-pedagang muslim, baik melalui perkawinan atau memeluk agama Islam untuk memperkuat keberadaanya," terang ia.

Menurut Kemas, para migran China yakni para pedagang ini menumpang sampai suatu tujuan tertentu, kemudian menetap sambil menunggu kedatangan rombongan berikutnya yang akan kembali ke China.

"Para imigran awal ini terdiri dari laki-laki saja, baru pada abad ke-19 para imigran wanita ikut bermigrasi. Para imigran yang meninggalkan Cihna pada awalnya berharap bahwa kelak akan pulang dan mati di kampung halaman dengan membawa sejumlah kesuksesan dari daerah perantauan," ungkapnya.

Masyarakat Tionghoa mengenal dua konsep dasar ajaran kepercayaan Xiao dan Zhong yang sangat ketat dipatuhi dan diyakini oleh seluruh rakyat China termasuk  para imigrannya.

 Xiao artinya berbakti kepada leluhur maksudnya seluruh rakyat terutama kaum laki-laki wajib merawat kuburan orang tua dan leluhur mereka serta merawat tpapan nama yang bertuliskan nama orang tua atau leluhur mereka yang sudah meninggal.

Sedangkan Zhong artinya berbakti kepada negara maksudnya seluruh rakyat  harus patuh dan hormat kepada kaisar  sebagai wakil  Langit atau tjan.

Load More