Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 07 Februari 2021 | 14:43 WIB
Prasasti Talang Tuwo, prasasti peninggalan Sriwijaya ini berisikan pesan merawat bumi

SuaraSumsel.id - Prasasti Talang Tuwo diketahui berkerangka tahun 606 Saka atau 684 Masehi. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebongkah batu pasir atau sand stone. Ukuraranya sekitar 50 cm x 80 cm.

Menurut Peneliti Muda Badan Arkeolog Sumatera Selatan, Wahyu Rizki Adhifani tulisannya sangat muda dibaca dan dalam keadaam baik, seperti halnya dua sampai dengan tiga aksara pada akhir setiap baris. 

Dalam huruf Pallawa, begini isi prasasti Talang Tuwo:

1.“  swasti çrî çakawarsâtîta 606 dim dwitîyaçuklapaksa wulan caitra sâna tat kâlâna parlak çriksetra ini niparmuat.
2.parwânda punta hiyam çrî jayanâga, ini pranidhânânda punta hiyam sawanakna yam nitânam di sini niyur pinam hanâu ru –
3.mwiya dnan samiçrâna yam kâyu nimâkan wuahna, tathâpi hâur wuluh pattum ityewam âdi, punarapi yam parlak wukan
4.dnan tawad talâga sawanakna yam wuatna sucarita parâwis prayojanâkan punyâna sarwwa satwa sacârâcara, waropâyana tmu
5.sukha di âsannakâla di antara mârgga lai, tmu muah ya âhâara dnan âir niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu
6.ah ya mamhidupî paçuprakâra,  marhulun tuwi wrddhi muah jânan ya niknâi sawanakna yam upasargga, pîdannu swapnawighna, waram  wua -
7.tâna kathamapi, anukula yam graha naksatra parâwis diya, nirwyâdhi ajara kawuatanâna, tathâpi sawanakna yam bhrtyâna.
8.satyârjjawa drdhabhakti muah ya dya,  yam mitrâna tuwi jânan ya kapata yam winina mulam anukalabharyyâ  muah ya  waram sthâ -
9.nâna lâgi jânan curi ucca wadhâna paradâra di sâna, punarapi tmu ya kalyânamitra marwwanun wodhicitta dnan maitri
10.udhâni di dam hyam ratnatraya jânan marsârak dnan damhyam ratnatraya, tathâpi nityakâla tyâga marçila ksânti marwwanun wîryya râjin,
11.tâhu di samiçrâna çilpakalâ parâwis, samâhitacinta,  tmu nya prajnâ smrti medhâwi, punarapi dhairyyamâni mahâsattwa
12.wajraçarîra, anupamaçakti,  jaya, tathâpi jatismara,  awikâlendriya, mancak rupa, subhaga hâsin halap, âde
13.yawâkya, whramaswara, jâdi lâki, swayambhu puna ( ra ) pi tmu ya cintâmaninidhâna, tmu janmawaçitâ, karmmawaçitâ kleçawasitâ
awasâna tmu ya anuttarâbhisamyaksamwodhi.”

Baca Juga: Ini Alasan Dokter Kecantikan Richard Lapor Kartika Putri ke Polda Sumsel

Jika diartikan seperti ini isinya :

1.‘Selamat tahun Saka telah berjalan 606 pada tanggal dua paro terang bulan Caitra. Itulah tatkalanya kebun Sriksetra ini diperbuat.
2.( dari ) perintah yang dipetuan Hyang Sri Janaga. Ini kaulnya yang dipertuan Hyang. Segala yang ditanam di sini, kelapa,pinang, enau, sagu.
3.dengan jenis kayu, yang dimakan buahnya ; begitu pula bambu, buluh betung dan lain – lainnya ; dan lagi kebun yang lain,
4.yang ada empang ( dan ) telaganya, dan segala yang boleh dipakai untuk melakukan sekalian kebaikan, ( harapiah ) diuntukkan bagi kemakmuran segala makhluk, yang berjalan atau yang tak berjalan, supaya mereka mendapat
5.kesukaan ; dan kalau lapar di masa diam atau di dalam perjalanan ( supaya ) mendapat makana dengan air yang diminumnya. ( Supaya ) segala hasil ladang dan kebun cukup
6.pula menghidupi  segala jenis hewan, terutama supaya ( hewan ini ) menjadi banyak. Lagi janganlah mereka dikenai segala rintangan, aniaya, dan gangguan tidur. Barang siapa yang
7.sengaja perbuatannya, apa juapun, senantiasa menurut ( maksud di atas ) maka tidak kena penyakitlah ia, tidak rusaklah apa yang akan dikerjakannya, begitu juga sekalian keluarganya
8.akan tunduk dan sangat setia kepadanya. Lagi pula sahabatnya jangan sampai mengoda bininya, terutama ( kalau bini itu ) sangat setia kepada lakinya. Dan lagi di mana barang
9.tempatnya janganlah ia ( melakukan ) khianat, kebusukan, pembunuhan dan zina di sana. Dan lagi supaya ia mendapat sahabat yang baik, membangunkan peringatan kepada pohon Bodhi dengan cinta.
10.ingat akan yang mulia Manikan – tiga. Jangan terpisah dengan yang mulia Manikam – tiga. Lagi pula supaya ia senantiasa rela, sopan, sabar, dan membangunkan kekuatan dan kerajinan,
11.tahu akan segala jenis kepandaian, berpikiran tenang, mendapat kebijaksanaan, ingatan, ketajaman budi, lagi pula ( mendapat ) keteguhan  ( seperti ) hablur ( kristal ), keluhuran budi,
12.berbadan baja, kesaktian yang tak ada masanya, kemenangan, lagi pula mendapat peringatan akan hidupnya yang dulu, indranya yang sempurna, dapat berganti – ganti rupa, untung senang dan baik,
13.bersabda menarik hati, bersuara mulia, menjadi laki – laki yang merdeka. Lagi pula mendapat setimbun Batu – pengharapan, mendapat kekuasaan atas kelahiran, kekuasaan atas laku langkahnya, kekuasaan atas kenajisan ;
14.dan penghabisannya mendapat keterangan budi yang mulia sempurna‘

Prasasti Talang Tuwo, pada baris pertama  terbaca pada tanggal 2 paro terang Bulan Ceitra, bulan keempat dalam pertanggalan Buddha, ketika itu Kebun atau Taman Çriksetra dibuat oleh Punta Hiyam Çrî Jayanâga (sa) baris kedua.

Sehingga, kata Wahyu, terdapat dua hal penting dalam prasasti Talang Tuwo yakni mengenai taman Sriksetra dan ajaran budha atau harapan Srijaya Naga.

"Lalu muncul pertanyaan taman seperti apa yang dibuat oleh Sri Jayanaga?, taman yang berguna untuk seluruh makhluk baik yang berjalan maupun yang tidak berjalan," kata ia dalam acara webinar yang diselenggarakan Sahabat Cagar Budaya, Sabtu (6/2/2021).

Baca Juga: Ekonomi Sumsel Terkontraksi saat Pandemi, Pertanian Disebut Penyelamatnya

Sri Jayanaga membuat kebun atau taman tersebut, yaitu agar seluruh makhluk hidup bisa memanfaatkan taman tersebut guna melepas dahaga dan bila kelaparan.

"Dan juga Sri Jayanaga mengharapkan agar manusia yang memanfaatkan kebun atau taman tersebut agar bisa menjadi yang diharapkan oleh sang Buddha, yaitu terkait dengan ajaran Tri Ratna (Buddha, Sangga, dan Dharma)," terang ia.

Sehingga, ia menekankan bagaimana Kerajaan Sriwijaya telah mewariskan nilai merawat Kerajaaan Sriwijaya di masanya.

Adapun beragam tanaman yang disebutkan prasasti tersebut antara lain niyur (kelapa), pinam (pinang), hanâu (enau), rumwiya (sagu), yam kâyu nimâkan wuahna (kayu yang dimakan buahnya) dan hâur wuluh pattum (bambu, buluh betung).

Peneliti senior Badan Arkeolog, Retno Purwanti menambahkan terdapat kearifan lokal yang sudah diwariskan sejak masa Sriwijaya yang menyesuaikan lingkungan kala itu. Jika saat ini beragam tanaman tersebut sangat sulit ditemui maka sudah menjadi penanda terjadinya degradasi.

"Sangat arif sekali bagaimana Sriwijaya merawat lingkungan, keberadaan taman pun tidak diartikan hanya sebagai tanam, namun di taman juga ada peribadatan (ibadah), sekaligus menyebarkan nilai-nilai kebaikan Budha," ungkap Retno.

Load More