-
Muktamar ke-10 PPP di Ancol dibuka dengan kericuhan akibat kader yang dihalangi masuk, memperlihatkan masih adanya bara konflik antara kubu Muhamad Mardiono dan Suharso Monoarfa. Namun, drama ini berakhir mengejutkan dengan aklamasi mulus yang kembali mengukuhkan Mardiono sebagai ketua umum.
-
Di tengah panasnya konflik di luar arena, elite PPP melakukan konsolidasi tertutup demi mencegah perpecahan lebih dalam. Hasil lobi politik itu menghadirkan narasi “rekonsiliasi” dan “persatuan” yang menyingkirkan opsi voting, menghasilkan kesepakatan bulat mendukung Mardiono.
-
Meski aklamasi dipersepsikan sebagai titik damai, banyak pihak meragukan apakah itu benar-benar rekonsiliasi tulus atau sekadar gencatan senjata. Tugas berat kini menanti Mardiono: menyatukan kembali partai yang terbelah sekaligus mengembalikan PPP ke Senayan pada Pemilu 2029.
SuaraSumsel.id - Panggung politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru saja menyajikan sebuah drama penuh plot twist yang membuat publik geleng-geleng kepala. Muktamar ke-10 yang digelar di Ancol, Jakarta, diawali dengan pemandangan chaos yang memalukan, namun berakhir 180 derajat dengan sebuah aklamasi yang mulus dan tanpa perlawanan untuk sang petahana, Muhamad Mardiono.
Alur yang tak terduga ini sontak menjadi perbincangan, dengan banyak pihak menyebut dinamika di tubuh "Partai Ka'bah" ini tak ubahnya sebuah sinetron penuh intrik.
Drama dimulai bahkan sebelum acara resmi dibuka pada Kamis (19/9/2025). Suasana di luar arena muktamar memanas ketika ratusan kader yang mengklaim sebagai peserta sah dihalangi masuk oleh barikade petugas keamanan internal.
Aksi saling dorong tak terhindarkan, diwarnai adu mulut sengit dan teriakan-teriakan yang menunjukkan perpecahan internal.
Baca Juga:Bank Sumsel Babel & Pemprov Sumsel Pecahkan Rekor Dunia, Ribuan Guru Belajar AI Serentak
Di tengah kericuhan, nama Suharso Monoarfa—Ketua Umum sebelumnya yang digulingkan—terdengar diteriakkan.
Ini menjadi bukti nyata bahwa bara konflik dualisme kepemimpinan antara kubu Mardiono dan kubu Suharso masih menyala. Pemandangan ini terjadi jelang kedatangan Presiden terpilih Prabowo Subianto, seolah mempertontonkan perpecahan partai di hadapan pimpinan koalisi.
Namun, saat para kader di akar rumput saling bergesekan di luar, para elite partai di dalam justru bergerak cepat dalam lobi-lobi senyap. Di balik panggung yang riuh, terjadi konsolidasi tingkat tinggi. Para pimpinan wilayah dan tokoh senior PPP disebut-sebut melakukan serangkaian pertemuan maraton untuk mencegah perpecahan yang lebih dalam.
Kesepakatan-kesepakatan politik di ruang-ruang lobi tertutup inilah yang pada akhirnya menjadi penentu arah muktamar. Demi menjaga keutuhan partai yang baru saja terlempar dari parlemen, narasi "rekonsiliasi" dan "persatuan" menjadi mantra utama yang disepakati oleh para elite, menyingkirkan opsi pertarungan terbuka melalui voting.
Hasil dari lobi senyap itu pun terlihat jelas saat proses pemilihan ketua umum tiba. Suasana berubah drastris. Tak ada lagi perdebatan sengit atau pertarungan antar kandidat. Seluruh pemilik suara yang sah di dalam ruangan secara bulat menyepakati satu nama.
Baca Juga:Heboh Video Perploncoan Cium Kening Gegerkan Unsri, Citra Pendidikan Sumsel Kembali Tercoreng
Tanpa melalui proses voting yang berbelit, Muhamad Mardiono secara resmi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030 melalui mekanisme aklamasi. Akhir yang "damai" ini terasa sangat kontras dengan pembukaannya yang penuh kekacauan.
Dalam pidato kemenangannya, Mardiono langsung menggaungkan janji rekonsiliasi. Ia berjanji akan merangkul semua pihak, termasuk kubu yang berseberangan, untuk bersama-sama membangun kembali PPP.
Namun, di balik akhir yang tampak "bahagia" ini, sejumlah pertanyaan besar masih menggantung. Apakah aklamasi ini benar-benar mencerminkan persatuan yang tulus, atau hanya sebuah gencatan senjata sementara di antara para elite? Bagaimana nasib para kader yang dihalangi masuk dan merasa suaranya tidak terwakili?
Yang terpenting, tantangan terbesar bagi Mardiono kini jauh lebih berat. Ia tidak hanya harus menyatukan kembali partai yang terbelah, tetapi juga harus memimpin "Partai Ka'bah" dalam perjuangan maha berat untuk bisa kembali lolos ke Senayan pada Pemilu 2029 mendatang.